Dari perpaduan unik inilah, suasana yang ada juga menjadi lebih cair. Penonton bisa ikut meramaikan, tanpa lupa bersikap tertib.
Dengan sifat universal yang sama-sama dimiliki, hubungan sepak bola dan musik terasa begitu cair. Terbukti, "musikalisasi" sepak bola mampu menghasilkan satu keindahan yang unik, ekspresif, tapi tak kehilangan karakter masing-masing.
Hubungan sepak bola dan musik yang demikian adem jelas membuat politik sedikit cemburu, tapi disinilah kita bisa melihat, kenapa musikalisasi sepak bola selalu lebih indah dari politisasi sepak bola secara terang-terangan.
Karena, dalam musikalisasi, sepak bola dan musik saling mengisi dalam porsi yang sama. Ada saatnya memberi semangat, ada saatnya berefleksi, dan ada saatnya menginspirasi. Ketika harus melebur pun, mereka mampu meleburkan ego masing-masing ke dalam sebuah harmoni.
Ini jelas berbeda dengan politisasi, yang terlalu sering menuntut porsi lebih, bahkan tak malu memaksa pihak diluar mereka hanya jadi tempelan. Kalau pola sinergi seperti ini terus berlanjut, bukan harmoni yang tercipta, karena ego salah satu pihak terlalu besar.
Pada awalnya, mungkin ini masih terlihat baik-baik saja, tapi ketika ego yang ada semakin besar, situasinya akan seperti minuman soda dalam botol yang terus dikocok sampai berbusa-busa. Sekuat apapun tutup botolnya, suatu saat ia akan terlontar dan lepas sendiri, karena tekanan dari dalam terlalu kuat.
Mungkin, inilah satu alasan mengapa hubungan sepak bola dan politik justru berjalan lebih baik saat sifatnya "backstreet" alias diam-diam. Satu sifat hubungan yang aneh, tapi justru menjadi penyeimbang sempurna, dari hubungan cair sepak bola dan musik, yang selalu berada di jalan terang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H