Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Lika-liku Klub Ambisius

23 April 2023   23:13 Diperbarui: 23 April 2023   23:20 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam sepak bola era kekinian, bermunculan klub-klub ambisius yang mampu memecahkan rekor transfer atau gaji termahal di liga, seperti Chelsea, Manchester City atau PSG.

Sebenarnya, tren ini juga pernah dilakukan tim-tim raksasa tradisional seperti Real Madrid, AC Milan atau Manchester United. El Real saja bahkan sudah 3 kali memecahkan rekor dunia transfer di era milenium, saat memboyong Zinedine Zidane (2001), Cristiano Ronaldo (2009) dan Gareth Bale (2013).

Hanya saja, mereka melakukan itu pada masa puncak kejayaan masing-masing, baik secara kinerja finansial maupun performa di lapangan, sebelum akhirnya menjadi lebih "kalem" karena harus berhati-hati dengan aturan Financial Fair Play UEFA.

Sementara itu, klub-klub ambisius "zaman now" melakukan itu, justru setelah lolos dari ancaman kebangkrutan. Seperti sedang kena sindrom "orang kaya baru".

Segera setelah mendapat pemilik baru, baik PSG, City dan Chelsea sama-sama kalap belanja pemain bintang dan membangun tim dengan mimpi besar: meraih semua titel yang bisa diraih, dengan Liga Champions sebagai target terbesar.

Dengan strategi "Galacticos" ala Real Madrid di pergantian milenium, mungkin semua terlihat mudah. Cukup punya banyak uang dan satu tim bertabur bintang, semua bisa dikejar.

Tak peduli harga pasar transfer rusak, yang penting belanja. Seperti transfer Neymar dari Barcelona ke PSG seharga 222 juta euro (2017) yang menjadi rekor dunia dan membuat standar harga transfer pemain naik tajam.

Tapi, diluar kualitas materi pemain, tetap ada tantangan lain yang masih harus dihadapi, yakni menaikkan kualitas level permainan dan kematangan mental tim secara kolektif.

Meski kelihatannya mudah, karena pemain yang ada berkualitas tinggi, mematangkan mental dan menyatukan mereka sebagai satu tim yang kompak bukan perkara mudah.

Terbukti, tidak banyak klub ambisius yang mampu menjaga dan menaikkan level permainan mereka, apalagi sampai mampu bersaing mengejar beberapa gelar sekaligus dalam satu musim.

Chelsea (yang terbilang sukses di era Roman Abramovich) saja butuh waktu 9 tahun dan 1 kekalahan di final Liga Champions, sebelum akhirnya meraih trofi Si Kuping Besar mereka tahun 2012 dan 2021.

Sayang, cerita sukses ini tampaknya akan sulit terulang di era Todd Boehly, karena di tahun pertamanya saja, Chelsea sudah penuh turbulensi.

Dua tim ambisius lain, yakni PSG dan Manchester City butuh waktu beberapa tahun untuk bisa mencapai final Liga Champions pertama mereka. Tapi, progres perkembangan mereka sebagai sebuah tim sangat berbeda, meski sama-sama sudah meraih aneka trofi domestik.

PSG belakangan cenderung stagnan di Liga Champions. Dengan diperkuat superstar sekelas Kylian Mbappe, Neymar dan Lionel Messi, fase grup memang bisa dilewati, sekalipun lawannya tim sekelas Juventus, Liverpool atau Barcelona.

Tapi, ketika masuk fase gugur, mereka tampak tertekan dan hancur oleh tekanan itu, karena tidak tahu harus bagaimana. Celakanya, klub milik Nasser Al Khelaifi (Qatar) itu terlalu banyak diwarnai drama internal dan gonta-ganti pelatih.

Situasi berbeda justru ditampilkan Manchester City, karena mereka tampak terus berkembang. Meski masih belum beruntung di Eropa, ada progres yang terlihat, dan itu makin kuat karena klub milik Sheikh Mansour (Uni Emirat Arab) itu percaya penuh pada pelatih Pep Guardiola sejak tahun 2016.

Di bawah polesan pelatih asal Spanyol itu, ada satu stabilitas, yang makin kesini makin menyeramkan, karena selain punya materi tim kelas satu, ada pembaruan taktik yang terus dilakukan. Belakangan, metode ini coba ditiru Newcastle United, yang tampak berprogres sejak dibeli Pangeran Arab Saudi.

Kembali ke City. Di musim 2022-2023, pembaruan itu terlihat, dari kehadiran Erling Haaland dan Julian Alvarez di lini depan. Pep yang sebelumnya banyak mengandalkan "false nine" akhirnya unjuk kebolehan dalam menggunakan pemain nomor 9 tulen.

Hasilnya, The Eastland mampu tampil konsisten, bahkan berpeluang meraih Treble Winner. Terdengar berlebihan, tapi begitulah adanya.

Di liga, Kevin De Bruyne dkk masih menempel ketat, bahkan berpeluang menyalip Arsenal yang sedang limbung. Di Piala FA, partai puncak sudah dicapai, setelah trigol Riyad Mahrez mengakhiri langkah tim kejutan Sheffield United.

Tantangan tersulit datang di Liga Champions, karena Real Madrid menanti di semifinal. Selain karena faktor status El Real sebagai juara bertahan dan tim tersukses di kompetisi, ada tantangan mental yang harus dihadapi.

Seperti diketahui, pada musim lalu kedua tim juga bertemu di semifinal, dalam dua leg yang alot dan dramatis. Pada prosesnya, City sempat unggul sebelum akhirnya kena comeback. Sebuah kekalahan traumatis, sekaligus tantangan terbesar menuju final di Istanbul.

Jika mampu mengatasi trauma kekalahan, kemenangan atas Los Blancos bisa menjadi satu penegasan kalau "Treble Winner" bukan sebatas mimpi. Ini adalah sejarah yang ingin coba mereka ciptakan.

Di sisi lain, meski banyak dikritik karena cenderung instan, keberadaan klub-klub ambisius ini jadi satu "counter" menarik buat klub-klub raksasa tradisional, yang sejak lama membangun superioritas dari sejarah panjang mereka.

Disebut demikian, karena klub-klub tradisional itu sangat membanggakan sejarah (yang sebenarnya sudah usang dalam konteks kekinian) tapi kadang lupa memperbarui lewat prestasi di masa kini dan visi untuk masa depan.

Celah inilah yang coba dimanfaatkan klub-klub ambisius untuk membangun sejarah mereka sendiri, sekaligus menaikkan kelas mereka, sambil coba merancang target untuk masa depan.

Menariknya, dari klub-klub ambisius inilah, kita bisa melihat, sejarah bukan hanya sesuatu yang tinggal di masa lalu. Ia adalah sebuah warisan di masa kini, sekaligus bekal untuk masa depan.

Jadi, tak ada alasan untuk terlena dengan kebesaran di masa lalu, karena di balik sisi dinamisnya, masa depan juga punya sisi kejam dan penuh ketidakpastian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun