Kalau pada kasus Hubner, permintaan si pemain (apapun wujudnya) jadi satu hal yang cukup masuk akal, khususnya dari sudut pandang realistis, khususnya jika melihat masih tingginya tingkat ketidakpastian di sepak bola nasional.
Dalam usia yang masih muda, dan kesempatan bermain di salah satu liga terbaik saat ini, harus ada "kompensasi" yang pas, karena ada "kerugian" berupa kesempatan bermain di Eropa yang akan hilang, karena status sebagai pemain non-Uni Eropa, kecuali sudah punya status pemain "homegrown" seperti Elkan Baggott.
Dalam beberapa kasus, situasi ini sudah membuat pemain naturalisasi seperti Stefano Lilipaly, Ezra Walian, dan Irfan Bachdim akhirnya "menetap" di liga Indonesia, setelah sebelumnya bermain di Eropa, dan ada juga yang sempat bermain di Asia.
Berangkat dari penolakan Hubner, andai PSSI berencana menaturalisasi pemain lagi, perlu ada penyesuaian kriteria. Misalnya si pemain tidak berusia di bawah 21 tahun, dan sedang tidak bermain di klub kasta tertinggi liga top Eropa. Kecuali jika si pemain serius ingin jadi WNI.
Penyesuaian ini dimaksudkan, supaya si pemain tidak berubah pikiran, andai tiba-tiba mendapat panggilan Timnas negara asalnya.
Kalau level kemampuan si pemain terlalu tinggi untuk ukuran sepak bola nasional, dia tentu akan kesulitan menyatu dengan tim, dan malah akan tidak efektif.
Dengan karier pemain bola yang rata-rata lebih pendek dari profesi lain, proyeksi dan rencana rekrutmen harus diperhatikan betul, karena pindah kewarganegaraan bukan keputusan sepele. Apalagi, di negara yang tak kenal asas kewarganegaraan ganda seperti Indonesia.
Mungkin, ada banyak yang berharap, Indonesia punya pemain naturalisasi yang masih muda, tapi untuk bisa mewujudkan itu, sepak bola nasional harus punya nilai tawar lebih dari sebatas "kebanggaan" membela Timnas Indonesia, antara lain dengan rajin lolos kualifikasi turnamen sekelas Piala Dunia atau Piala Asia.
Tapi, karena nilai tambah itu belum ada, PSSI dan pihak-pihak terkait harus segera berbenah, supaya nilai tambah itu bisa didapat. Andai masih ingin melakukan "perbaikan" lewat pemain keturunan atau blasteran, PSSI juga bisa memantau pemain blasteran yang beredar di liga.
Jadi, selain bisa menjaring pemain-pemain seperti Hugo Samir (Indonesia-Brasil), Ronaldo Kwateh (Indonesia-Liberia) dan Brandon Scheunemann (Indonesia-Jerman) ke tim junior, nama-nama potensial lain seperti Alta Ballah (Indonesia-Liberia), Seiya Da Costa (Indonesia-Jepang) atau Kevin Gomes (Indonesia-Brasil) juga bisa dipertimbangkan.
Jika para pemain blasteran ini dipantau dan terbukti punya kualitas oke, PSSI tak perlu ribet mengurus proses naturalisasi, karena mereka sudah menjadi WNI. Tinggal panggil, langsung bisa bermain.