Dalam sepak bola nasional, khususnya sedekade terakhir, kehadiran pemain naturalisasi menjadi satu warna khas. Ada yang menjadi WNI karena sudah lama tinggal di Indonesia, dan ada juga yang memang punya garis keturunan Indonesia.
Tapi, ada satu kasus yang (seharusnya) bisa jadi satu pelajaran berharga, yakni proses naturalisasi Justin Hubner. Pemain kelahiran Belanda ini awalnya memang berminat serius menjadi WNI, karena kebetulan punya garis keturunan Indonesia.
Proses naturalisasi pemain tim muda Wolverhampton Wanderers ini pun berjalan, tapi rumitnya birokrasi membuat semua terlihat rumit. Batalnya penyelenggaraan Piala Dunia U-20 di Indonesia juga menghadirkan satu tanda tanya besar.
Ditambah lagi, pemain bernama lengkap Justin Quincy Hubner ini sempat berganti dengan Timnas Belanda U-21, karena memang mendapat panggilan.
Seharusnya, ini sudah jadi kode keras dari si pemain, sekaligus catatan untuk PSSI, tapi narasi di media justru terkesan mengaburkan fakta, bahkan masih saja mengapungkan optimisme.
Maka, bukan kejutan kalau narasi soal "permintaan tak biasa" dari pemain kelahiran tahun 2003 itu muncul di banyak media nasional, seiring batalnya proses naturalisasi Hubner.
Padahal, diluar narasi ini, ada hal lebih mendesak untuk diperbaiki, yakni kualitas sepak bola nasional secara umum.
Disadari atau tidak, kebijakan mencari pemain keturunan Indonesia adalah satu hal yang mempertegas adanya masalah di sisi kualitas, karena tidak ada sistem pembinaan pemain muda yang berkualitas. Kompetisi liga kelompok umur saja masih vakum.
Memang, mencari pemain keturunan, lalu mengiming-imingi mereka kesempatan bermain di Timnas Indonesia bisa jadi solusi instan. Tapi, kalau birokrasi dan permasalahan yang ada terlalu rumit, si pemain bisa dan berhak berubah pikiran.