Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Lunturnya Sisi Konservatif Sebuah Tim Nasional

8 April 2023   16:54 Diperbarui: 10 April 2023   10:23 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (Freepik.com)

Dalam sepak bola, pos pelatih tim nasional biasanya cenderung diisi pelatih lokal, khususnya pada negara dengan identitas dan sejarah panjang. Apalagi, jika negara tersebut punya catatan prestasi di tingkat benua dan dunia.

Makanya, ada beberapa negara yang mengkhususkan pos pelatih tim nasional untuk pelatih lokal, demi menjaga tradisi dan identitas, kalau tidak boleh dibilang "local pride".

Tapi, seiring perkembangan tren taktik dan sisi kompetitif, pandangan konservatif ini tampak mulai luntur. Pada dekade 2000-an, Inggris, yang disebut sebagai negara pencetus sepak bola modern, telah menunjuk Sven Goran Eriksson (Swedia) dan Fabio Capello (Italia) sebagai pelatih tim nasional.

Meski gagal meraih trofi, dua pelatih asing pertama sepanjang sejarah Timnas Inggris itu mampu meninggalkan satu warisan, berupa sedikit tambahan sisi fleksibel pada gaya "Kick and Rush" khas Inggris yang cenderung kaku bin monoton, seperti terlihat pada Tim Tiga Singa versi kekinian.

Berselang dua dekade, fenomena ini kembali hadir, kali ini di Amerika Selatan, tepatnya Uruguay. Untuk kedua kalinya sepanjang sejarah, mereka menunjuk pelatih asing sebagai pelatih tim nasional.

Meski belum dikonfirmasi AUF (PSSI-nya Uruguay) sejumlah media dan pakar transfer internasional menyebut, Marcelo Bielsa akan bertugas sebagai pelatih tetap Timnas Uruguay di ajang Copa America 2024 dan Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Conmebol.

Meski dikontrak sampai tahun 2025, kontrak itu akan diperpanjang, setidaknya selama setahun, jika La Celeste mampu lolos ke Piala Dunia 2026 di Meksiko, Amerika Serikat dan Kanada.

Jika pelatih berusia 67 tahun itu jadi menahkodai Si Biru Langit, ia akan mengikuti jejak Daniel Passarella (legenda Timnas Argentina), yang pernah bertugas antara tahun 2000-2001. Uniknya, Passarella juga menjadi pendahulu Bielsa sebagai pelatih Timnas Argentina di masa lalu.

Dengan reputasi sebagai juara Piala Dunia dua kali dan tim tersukses Copa America (bersama Argentina) plus sejarah panjang selama lebih dari seabad, sebagian orang mungkin akan mengira, reaksi para pecinta sepak bola di sana akan kurang bagus, seperti di Inggris, khususnya saat Eriksson dan Capello bertugas.

Tapi, reaksi yang timbul justru sebaliknya. Banyak yang merasa antusias dengan kedatangan pelatih asal Argentina itu, karena kemampuannya dalam memoles talenta pemain dan membangun sistem.

Meski terbilang jarang meraih trofi, pelatih berjuluk El Loco ini sudah punya reputasi bagus di Amerika Selatan. Namanya bahkan diabadikan sebagai nama stadion klub Newell's Old Boys (klub masa kecil Lionel Messi) sejak 2009.

Selain meraih medali emas Olimpiade 2004 bersama Argentina, eks pelatih Leeds United ini juga mampu membangun kembali Timnas Chile yang sempat tenggelam selepas era Ivan Zamorano-Marcelo Salas selesai.

Di bawah kendalinya, La Roja mampu lolos ke babak perdelapan final Piala Dunia 2010 dan mengorbitkan pemain sekelas Alexis Sanchez dan Arturo Vidal. Meski akhirnya hengkang tahun 2011, tim yang sudah dibangun Bielsa kelak menjadi kerangka utama tim yang mampu meraih 2 trofi Copa America (2015 dan 2026).

Rekam jejak pelatih nyentrik ini bersama Timnas Chile ini kebetulan juga sinkron dengan materi pemain Timnas Uruguay era kekinian, yang rerata berusia muda dan masih minim pengalaman di tim nasional senior.

Seiring habisnya era Edinson Cavani dan Luis Suarez, mereka memang punya penerus potensial macam Darwin Nunez (Liverpool), Ronald Araujo (Barcelona) dan Federico Valverde (Real Madrid), tapi belum punya pelatih yang mampu memoles mereka, seperti dialami generasi Suarez di era Oscar Tabarez (2006-2021) yang meninggalkan warisan sistem pembinaan pemain muda "Processo" alias Proses.

Secara hasil, sebenarnya sistem "Processo" ini terbilang cukup bagus, karena menjamin regenerasi pemain tetap berjalan. Uruguay sendiri juga dikenal punya filosofi "Garra Charrua" yang pada era Tabarez diperbarui menjadi lebih fleksibel secara taktis,

Tapi, racikan yang formulanya mulai bisa terbaca, ditambah mekarnya tren sepak bola "high pressing", membuat strategi klasik ini terlihat usang, karena pembaruan yang ada cenderung kurang adaptif dengan perkembangan tren yang cukup dinamis.

Karenanya, Bielsa dianggap menjadi satu pilihan ideal buat Uruguay, untuk menambahkan sisi adaptif dan intensitas tinggi dalam sistem yang sudah ada, sambil membangun kerangka tim untuk jangka panjang.

Terlepas dari gaya main yang nyentrik dan kadang cenderung sembrono, kehebatan eks pelatih Athletic Bilbao dalam memoles pemain dan membangun sistem permainan tim memang sudah diakui secara luas, bahkan oleh pelatih sekelas Pep Guardiola.

Jadi, alih-alih melihat ini sebagai satu kemunduran, kedatangan Bielsa sebagai pelatih Los Charruas akan lebih tepat dilihat sebagai langkah pembaruan lebih jauh dari Uruguay, yang sebelumnya cukup lama lekat dengan sisi konservatif.

Seperti di Chile dulu, kiprah Bielsa di Uruguay ini mungkin tidak langsung terlihat hasilnya dalam waktu dekat, tapi baru bisa terlihat dalam waktu cukup lama.

Uniknya, fenomena ini juga terjadi di Brasil, yang sedang coba membidik Carlo Ancelotti dan pelatih top Eropa lain sebagai pelatih baru. Seperti diketahui, pos pelatih Selecao masih lowong, karena CBF (PSSI-nya Brasil) masih belum menemukan sosok pelatih ideal.

Dengan reputasi sebagai juara Piala Dunia lima kali, fenomena ini jelas terlihat aneh, karena Brasil adalah negara raksasa sepak bola dunia. Tapi, sama seperti Garra Charrua" di Uruguay, Jogo Bonito di Brasil tampaknya juga butuh pembaruan supaya bisa lebih adaptif dengan tren taktik kekinian.

Uniknya, fenomena ini justru tidak terjadi di Argentina, karena meski sangat mendewakan peran dan nomor punggung 10, mereka tidak terpancang kaku pada satu tren taktik tertentu, bahkan cenderung mengikuti tren taktik dari masa ke masa.

Sisi adaptif ini bahkan terlihat dari tiga titel Piala Dunia mereka, yang mewakili tiga era tren taktik: sepak bola menyerang (1978), sepak bola defensif (1986) dan "pressing football" (2022).

Seiring mekarnya sepak bola modern, sisi konservatif seperti "local pride" atau sistem klasik pelan-pelan memang tergerus oleh perkembangan yang begitu dinamis.

Bagi penikmat sepak bola romantis dan sentimental, ini mungkin terdengar kejam, tapi disinilah pemeo "bola itu bundar" menjadi relevan. Segala kemungkinan bisa terjadi di tengah situasi serba dinamis, karenanya adaptasi dan keterbukaan menjadi satu keharusan, supaya bisa tetap relevan tanpa kehilangan jatidiri.

Jadi, akan aneh jika sebuah tim nasional yang identitas filosofi permainannya belum jelas, malah berani membahas soal "local pride ", karena tim yang sudah punya sejarah panjang dan prestasi kelas dunia saja tidak "anti asing" sepanjang itu terbukti berdampak positif. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun