Uniknya, fenomena ini juga terjadi di Brasil, yang sedang coba membidik Carlo Ancelotti dan pelatih top Eropa lain sebagai pelatih baru. Seperti diketahui, pos pelatih Selecao masih lowong, karena CBF (PSSI-nya Brasil) masih belum menemukan sosok pelatih ideal.
Dengan reputasi sebagai juara Piala Dunia lima kali, fenomena ini jelas terlihat aneh, karena Brasil adalah negara raksasa sepak bola dunia. Tapi, sama seperti Garra Charrua" di Uruguay, Jogo Bonito di Brasil tampaknya juga butuh pembaruan supaya bisa lebih adaptif dengan tren taktik kekinian.
Uniknya, fenomena ini justru tidak terjadi di Argentina, karena meski sangat mendewakan peran dan nomor punggung 10, mereka tidak terpancang kaku pada satu tren taktik tertentu, bahkan cenderung mengikuti tren taktik dari masa ke masa.
Sisi adaptif ini bahkan terlihat dari tiga titel Piala Dunia mereka, yang mewakili tiga era tren taktik: sepak bola menyerang (1978), sepak bola defensif (1986) dan "pressing football" (2022).
Seiring mekarnya sepak bola modern, sisi konservatif seperti "local pride" atau sistem klasik pelan-pelan memang tergerus oleh perkembangan yang begitu dinamis.
Bagi penikmat sepak bola romantis dan sentimental, ini mungkin terdengar kejam, tapi disinilah pemeo "bola itu bundar" menjadi relevan. Segala kemungkinan bisa terjadi di tengah situasi serba dinamis, karenanya adaptasi dan keterbukaan menjadi satu keharusan, supaya bisa tetap relevan tanpa kehilangan jatidiri.
Jadi, akan aneh jika sebuah tim nasional yang identitas filosofi permainannya belum jelas, malah berani membahas soal "local pride ", karena tim yang sudah punya sejarah panjang dan prestasi kelas dunia saja tidak "anti asing" sepanjang itu terbukti berdampak positif.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H