Dalam beberapa hari terakhir, seruan menolak kedatangan Timnas Israel U-20 di Piala Dunia U-20 sukses menghadirkan satu kegaduhan yang bagai tanpa putus, karena antara lain sudah melibatkan Gubernur di dua provinsi yang sedianya menjadi venue, yakni Jawa Tengah dan Bali.
Meski kepolisian sudah menjamin keamanan, kegaduhan tak kunjung reda. Padahal, turnamen akan dimulai bulan Mei mendatang, dan semua tampak berjalan lancar sejak proses "bidding" beberapa tahun silam.
Imbasnya, pada Minggu (26/3) FIFA memutuskan untuk membatalkan proses undian peserta, yang sedianya digelar di Bali, 31 Maret mendatang.
Pertimbangannya, Gubernur Bali dinilai sudah melanggar poin kesepakatan untuk menjamin kelancaran turnamen, antara lain dengan tidak menolak tim manapun yang datang.
Jadi, penolakan pada Timnas Israel menjadi pemicu buat FIFA untuk langsung ambil tindakan. Maklum, ini berhubungan juga dengan aspek keamanan. Kalau satu tim ditolak, memaksakan diri justru akan berbahaya buat seluruh tim peserta.
Di sini, FIFA sudah membuat langkah mitigasi dini, dengan bergerak tanpa menunggu jatuh korban. Lebih jauh, status tuan rumah dan partisipasi Timnas Indonesia U-20 praktis berada di ujung tanduk, karena dinilai bersikap kurang profesional.
Menyusul situasi ini, rencana pemindahan tuan rumah Piala Dunia U-20 pun mengemuka. Setelah Qatar disebut karena sukses menggelar Piala Dunia 2022, ada AFA (PSSI-nya Argentina) yang bergerak cepat mengajukan Argentina sebagai tuan rumah.
Situasi ini menjadi satu kejutan tidak mengenakkan, sekaligus membuka (lagi) sisi banal sebuah keberpihakan. Seperti diketahui, banyak pihak menyebut, penolakan pada Timnas Israel U-20 ini adalah sebentuk solidaritas pada Palestina, sekaligus mentaati amanat pembukaan UUD 1945.
Kedengarannya keren, tapi ini menjadi aneh, ketika Dubes Palestina di Indonesia Zuhair Al Shun justru menyatakan, tidak ada masalah dengan kedatangan tim Israel ke Indonesia, karena Piala Dunia U-20 adalah hajatan FIFA, dan yang datang adalah tim olahraga, bukan pasukan Mossad atau sejenisnya. Ini acara olahraga, bukan militer.
Bahkan, suasana terlihat tenang saat delegasi Knesset (DPR-nya Israel) hadir dalam acara International Parliamentary Union (IPU) di Bali, 20-24 Maret silam.
Tidak ada demo atau surat edaran Gubernur Bali, apalagi pembatalan acara. Padahal, inilah kesempatan mereka bicara soal solidaritas pada Palestina, langsung ke politisi di parlemen Israel. Inilah pihak yang seharusnya ditolak, bukan tim sepak bolanya.
Terlepas dari beragam argumentasi yang ada, kegaduhan yang ada justru jadi memalukan, karena ada politisi oportunis yang dengan cerobohnya membonceng keadaan tapi tidak pada tempatnya.
Turnamen sekelas Piala Dunia U-20 adalah turnamen tingkat dunia. Otomatis, siapapun yang jadi tuan rumah harus siap menerima peserta yang lolos kualifikasi dari seluruh penjuru dunia, termasuk Israel. Ini konsekuensi yang tidak bisa ditawar.
Kalau memang menolak, kenapa tidak dari saat proses tender dulu? Kenapa Indonesia dulu ngotot mencalonkan diri sebagai tuan rumah?
Yang membuat situasi terlihat semakin memalukan adalah, pemerintah sudah menggelontorkan dana sampai triliunan rupiah untuk persiapan dan pendanaan di berbagai aspek, sebelum akhirnya terancam kembali batal. Sebelum ini, turnamen Piala Dunia U-20 di Indonesia sempat batal digelar tahun 2021, karena pandemi.
Sudah keluar uang banyak, tapi terancam mubazir karena batal digunakan sampai dua kali. Benar-benar memalukan. Seluruh dunia melihat semua kekacauan ini.
Lebih jauh, kalau sampai Indonesia batal jadi tuan rumah Piala Dunia U-20, harapan untuk bisa jadi tuan rumah di event dunia seperti Olimpiade atau Piala Dunia juga akan lenyap, karena sudah ada nilai minus berupa "blacklist" dari FIFA dan IOC, akibat dinilai bersikap diskriminatif dan tidak profesional.
Bukan apa-apa, ini soal reputasi. Sekali rusak, tidak mudah untuk memperbaiki, karena seluruh dunia tahu, dan ini akan jadi cerita memalukan buat generasi selanjutnya.
Soal sikap, pendekatan yang diambil oknum-oknum pembuat gaduh ini juga memalukan, karena mereka bicara soal solidaritas pada Palestina yang nun jauh di seberang lautan, tapi pura-pura tidak tahu pada masalah persekusi terhadap kelompok agama minoritas di negeri sendiri, yang belum kunjung berhenti.
Padahal, dalam konteks sudut pandang "permusuhan" yang sama, Amerika Serikat dan Iran saja masih bisa bertanding di satu lapangan, pada fase grup Piala Dunia 2022 lalu.
Masih di turnamen yang sama, Qatar juga menerima dengan baik rombongan tim Arab Saudi dan Iran. Meski hubungan diplomatik mereka terbilang panas-dingin, nyatanya tak ada masalah.
Jadi, ketika Indonesia menolak kedatangan Timnas Israel U-20 saat penyelenggaraan turnamen sudah dekat, tapi menerima kedatangan Knesset, ini benar-benar aneh. Sudah tidak konsisten, tidak konsekuen juga. Tidak dapat sanksi FIFA saja sudah bagus sekali.
Bagian paling menjengkelkan adalah, kegaduhan ini justru menampakkan realita yang ada secara brutal. Lolos Piala Dunia U-20 jalur tuan rumah saja terancam batal tampil, apalagi berusaha lolos lewat jalur kualifikasi. Israel saja bisa lolos dari kualifikasi zona UEFA, yang levelnya lebih sulit dari AFC.
Jadi, meski terlihat keren, menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 tetap punya sisi riskan. Ada negara-negara lain yang siap menggantikan, jika FIFA memutuskan mencoret si tuan rumah.
Bonusnya, selain dapat sanksi, kerugiannya juga besar, karena mencapai triliunan rupiah. Itu belum termasuk denda dan kerugian lain, seperti diskualifikasi dari turnamen internasional.
Kalau keberpihakan banal ini tidak ada, seharusnya kedatangan Timnas Israel U-20 bisa dimanfaatkan sebagai ajang menebar pesan perdamaian lewat olahraga. Sayang, kesempatan ini terancam hilang, karena politisasi memalukan kaum oportunis.
Di sisi lain, suka atau tidak, kita justru perlu berterima kasih kepada Israel, karena berkat mereka, kita bisa melihat, Indonesia belum siap tampil di turnamen tingkat dunia, bahkan sebagai tuan rumah, karena memang belum layak, bahkan dari segi pikiran dan sikap.
Kalau sikap saja sudah tidak profesional, sulit untuk berharap kemajuan di aspek lebih besar akan hadir di sepak bola nasional, karena sepak bola masih jadi alat politisasi. Benar-benar pelengkap sempurna untuk carut-marut di sepak bola nasional.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI