Jadi, ketika Indonesia menolak kedatangan Timnas Israel U-20 saat penyelenggaraan turnamen sudah dekat, tapi menerima kedatangan Knesset, ini benar-benar aneh. Sudah tidak konsisten, tidak konsekuen juga. Tidak dapat sanksi FIFA saja sudah bagus sekali.
Bagian paling menjengkelkan adalah, kegaduhan ini justru menampakkan realita yang ada secara brutal. Lolos Piala Dunia U-20 jalur tuan rumah saja terancam batal tampil, apalagi berusaha lolos lewat jalur kualifikasi. Israel saja bisa lolos dari kualifikasi zona UEFA, yang levelnya lebih sulit dari AFC.
Jadi, meski terlihat keren, menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 tetap punya sisi riskan. Ada negara-negara lain yang siap menggantikan, jika FIFA memutuskan mencoret si tuan rumah.
Bonusnya, selain dapat sanksi, kerugiannya juga besar, karena mencapai triliunan rupiah. Itu belum termasuk denda dan kerugian lain, seperti diskualifikasi dari turnamen internasional.
Kalau keberpihakan banal ini tidak ada, seharusnya kedatangan Timnas Israel U-20 bisa dimanfaatkan sebagai ajang menebar pesan perdamaian lewat olahraga. Sayang, kesempatan ini terancam hilang, karena politisasi memalukan kaum oportunis.
Di sisi lain, suka atau tidak, kita justru perlu berterima kasih kepada Israel, karena berkat mereka, kita bisa melihat, Indonesia belum siap tampil di turnamen tingkat dunia, bahkan sebagai tuan rumah, karena memang belum layak, bahkan dari segi pikiran dan sikap.
Kalau sikap saja sudah tidak profesional, sulit untuk berharap kemajuan di aspek lebih besar akan hadir di sepak bola nasional, karena sepak bola masih jadi alat politisasi. Benar-benar pelengkap sempurna untuk carut-marut di sepak bola nasional.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H