Belakangan, Pangeran Mohammed dari Arab Saudi juga datang membeli Newcastle United, dan mengubah peruntungan tim: dari yang tadinya terancam degradasi, jadi pesaing di papan atas.
Semua transformasi yang dihadirkan lewat suntikan modal para bos itu memang sukses membuat liga jadi lebih kompetitif. Ditambah dengan distribusi pendapatan hak siar yang adil, bukan kejutan kalau daya beli tim cukup tinggi.
Tapi, daya tarik dan cerita sukses "klub kaya baru" itu ternyata bukan tanpa masalah. Chelsea sempat kesulitan saat hendak berganti pemilik ke Todd Boehly dan kolega.
Kedekatan Abramovich dengan pemerintah Rusia membuat sang bos terpaksa melepas klub, tak lama setelah pemerintah Rusia melakukan operasi militer ke Ukraina, dan hanya beberapa bulan setelah Si Biru juara Liga Champions untuk kedua kali, yang disusul torehan Piala Super Eropa dan Piala Dunia Antarklub.
Cerita menyesakkan datang dari Portsmouth, saat mereka ditinggal Gaydamak. Klub yang sempat jadi tim kuda hitam ini malah terjerat krisis keuangan parah, mendapat pengurangan 9 poin, dan terdegradasi musim 2009-2010. Akibatnya, rival bebuyutan Southampton ini mengalami turbulensi dan masih berjuang di kasta bawah Liga Inggris.
Belakangan, cerita paling gres dan bombastis datang dari Manchester City, yang didakwa melanggar regulasi finansial Liga Inggris periode 2009-2018. Dengan kata lain, pelanggaran aturan finansial sudah ada sejak awal era Sheikh Mansour, dan mungkin memang jadi satu kebiasaan, karena ada celah yang bisa diakali.
Dana transfer besar dan paket gaji mahal memang biasa jadi satu paket daya tarik andalan kubu Etihad Stadium. Begitu juga dengan proyek olahraga mereka. Masalahnya, senjata andalan ini sedang terancam jadi senjata makan tuan.
Jika terbukti bersalah dan dihukum, City di era Abu Dhabi akan mengisi sisi suram sepak bola era industri. Ketimpangan masih nyata, bahkan saat gelontoran dana besar sudah membuahkan beragam prestasi.
Contoh lain yang tak kalah ruwet datang dari Everton. Tim yang dimiliki Farhad Moshiri (Iran) ini telah menggelontorkan ratusan juta pounds dalam hampir sedekade terakhir, tapi malah mengalami penurunan performa.
Dari tim yang bersaing memperebutkan tiket ke Eropa menjadi tim yang harus berjuang lolos dari degradasi. Jelas, ada salah urus.
Di luar cerita "klub kaya baru" yang cenderung jor-joran, ada juga klub yang cenderung hati-hati dalam berbelanja. Liverpool misalnya. Di era FSG, mereka biasa menjual pemain sebelum membeli dan menetapkan gaji