Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Liga Inggris, Cermin Sepak Bola Era Industri

8 Februari 2023   23:48 Diperbarui: 15 Februari 2023   10:00 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi industri sepak bola| Dok Dreamstime.com

"Created by the poor, stolen by the rich"

Begitulah kalimat kritik yang biasa muncul di era sepak bola industri. Salah satu penyebabnya, industrialisasi membuat sepak bola jadi mesin penghasil uang, yang justru membuat ketimpangan antara klub kaya dan biasa menjadi langgeng.

Ketimpangan itu juga terlihat, dari harga tiket dan paket tayangan siaran langsung yang cenderung naik tiap tahun. Makin lama, makin tidak terjangkau.

Saking awetnya ketimpangan itu, cerita tim kejutan yang jadi juara adalah satu hal yang belakangan sangat langka. Ambil contoh, di Liga Primer Inggris saja, tim kejutan yang jadi juara hanya Blackburn Rovers (1994/1995) dan Leicester City (2015/2016).

Keduanya diingat sebagai kisah "dongeng Cinderella" dan bahan omongan motivator,  tapi hanya sampai disitu. Selebihnya, pacuan juara di liga yang konon paling kompetitif ini dikuasai tim-tim dengan materi pemain berkualitas, daya belanja kuat, atau perpaduan keduanya.

Pada tim-tim tradisional atau punya sejarah prestasi di masa lalu seperti Arsenal, Manchester United atau Liverpool,  mereka sudah punya aset jangka panjang berupa popularitas global. Jadi, saat ada investor atau pemilik baru yang masuk, mereka bisa tetap kompetitif.

Sementara itu, bagi tim yang belum punya popularitas global, suntikan modal besar dari pemilik superkaya biasa jadi harapan, untuk membangun tim dan meraih popularitas global dalam waktu singkat.

Di Inggris, Chelsea dan Manchester City muncul sebagai kekuatan lain, berkat sokongan modal besar pemilik mereka. Chelsea dibeli Roman Abramovich (Rusia), sementara Manchester City dibeli Sheikh Mansour (Uni Emirat Arab).

Hasilnya, tim yang tadinya terjerat krisis keuangan, mendadak kaya seperti menang undian berhadiah. Mereka juga mampu meraih berbagai prestasi, sekaligus mendobrak hegemoni tim raksasa tradisional.

Transformasi ini mendorong banyak investor superkaya lain datang ke Inggris, dengan menjual mimpi dan ambisi besar. Ada Alexandre Gaydamak (Rusia-Israel) yang sempat membeli Portsmouth dan membangun tim jadi juara Piala FA 2008.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun