Sebagai contoh, di Liga Inggris kompetisi kasta tertingginya (20 tim) dipegang oleh Premier League, dengan kasta kedua sampai keempat (72 tim peserta) dikelola oleh Football League. Cakupannya bukan hanya di tim utama, tapi juga mencakup tim muda seperti tim "reserve" (U-23) dan U-18.
Apakah cukup sampai di situ?
Ternyata tidak. Masih ada National League (kompetisi antarwilayah) dan Non-League Football (amatir dan semiprofesional), dengan jumlah tim mencapai angka ribuan, tepatnya 5300 tim. Ini baru kompetisi sepak bola pria, belum termasuk sepak bola wanita.
Rumit, tapi kompetisi di Inggris terbukti menjadi salah satu yang terbaik di dunia. Berkat kualitas tata kelola yang baik, banyak investor superkaya yang berani menyuntikkan dana besar. Dari sisi sponsor dan hak siar pun, nilainya terus meningkat.
Meski jumlah pemain asingnya banyak, nyatanya Timnas Inggris masih punya pemain lokal yang bisa diandalkan. The Three Lions juga sering tampil di turnamen mayor, meski jumlah penduduknya tak sebanyak Indonesia.
Menariknya, manajemen kompetisi di Inggris juga membuktikan, bukan jumlah penduduk satu negara yang menentukan apakah satu negara bisa menghasilkan pemain berkualitas atau tidak, tapi kualitas tata kelola sepak bola nasionalnya.
Semakin bagus tata kelolanya, semakin banyak pemain berkualitas yang bisa diharapkan. Kalau tata kelolanya bobrok, sekalipun populasi negaranya miliaran orang, menemukan pemain berkualitas bak mencari jarum di tumpukan jerami.
Ingat Tiongkok dan India?
Bagaimana prestasi sepak bola mereka, jika dibandingkan dengan Kroasia atau Uruguay, yang jumlah penduduknya 3-4 juta jiwa?
Jomplang!
Karena itulah, siapapun terpilih dari bursa Ketum PSSI nanti, ia harus punya rencana yang jelas, dan mampu menyentuh semua aspek. Bukan cuma fokus di Liga 1.