Kalau bukan karena kelalaian manusia, tidak akan ada yang jadi tersangka, dan semua masih baik-baik saja.
Entah kenapa, saya justru merasa, Tragedi Kanjuruhan punya efek lebih katastrofik buat sepak bola nasional, dibanding bencana alam.
Hanya karena satu momen di satu tempat ini, kompetisi liga libur sampai dua bulan, sementara kompetisi Liga 2 dan 3 bubar. Padahal, dua kasta tersebut relatif tidak bermasalah.
Ironisnya, keputusan ini seolah mempertegas bagaimana PSSI menganggap Liga 1 sebagai anak emas, sementara lainnya dianggap anak tiri.
Soal sanksi, Arema FC, selaku tim tuan rumah saat Tragedi Kanjuruhan terjadi, memang dijatuhi larangan main di kandang sampai akhir musim.
Sekilas, ini tampak tegas. Sayang, ketegasan ini justru terlihat seperti formalitas, karena  kurang mempertimbangkan ratusan korban jiwa maupun luka yang jatuh.
Terlepas dari keberadaan Iwan Budianto (Waketum dan Exco PSSI) sebagai pemegang saham mayoritas klub, keputusan yang akhirnya diambil PSSI benar-benar menyedihkan. Hanya karena satu kelalaian, semua kena getahnya.
Yang cukup menyakitkan, Arema FC justru tetap berkompetisi, seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal, ada ratusan korban jatuh.
Kalau memang masih berempati, segera setelah Tragedi Kanjuruhan, seharusnya mereka menarik diri dari kompetisi, seperti yang dilakukan PSS dan PSIM dulu.
Bagamanapun, mereka masih punya tanggung jawab moral, karena gagal mengedukasi suporter fanatik dan kurang baik dalam melaksanakan koordinasi antarpihak. Bukankah (konon katanya) tidak ada sepak bola seharga nyawa manusia?
Menariknya, selain menghadirkan kesan anak emas pada Liga 1, keputusan PSSI kali ini kembali menunjukkan, seberapa buruk mereka dalam mengelola sepak bola nasional.