Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

PSSI dan Logika Ajaibnya

12 Januari 2023   23:11 Diperbarui: 12 Januari 2023   23:18 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bicara soal PSSI, ada banyak "keajaiban" dari organisasi satu ini. Mulai dari kualitas organisasi yang konsisten medioker dari masa ke masa, sampai melakukan keputusan tak biasa, termasuk soal kompetisi.

Terbaru, mereka mengambil keputusan tak biasa, untuk menghentikan kompetisi Liga 2 dan Liga 3, tapi tetap melanjutkan kompetisi Liga 1 tanpa degradasi. Keputusan ini diambil dalam rapat Exco PSSI, Kamis (12/1).

Terkait keputusan ini, PSSI memang menyebut, ada beragam faktor yang menjadi pertimbangan. Mulai dari perizinan (yang sempat terkendala akibat Tragedi Kanjuruhan) sampai jadwal yang (dikhawatirkan) berbenturan dengan turnamen Piala Dunia U-20 di Indonesia.

Seharusnya, masih ada kesempatan untuk memperbaiki keadaan. Tapi, disinilah logika ajaib PSSI muncul.

Sebagai induk sepak bola nasional, mereka seharusnya bertanggung jawab mengatur kekacauan yang ada, bukan malah cuci tangan dengan menghentikan kompetisi dan menghapus degradasi.

Soal keputusan menghapus degradasi, sebenarnya ini pernah diambil PSSI tahun 2006. Kala itu, keputusan ini diambil menyusul pengunduran diri PSS Sleman dan PSIM Yogyakarta, imbas bencana gempa bumi di Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Meski sekilas menyalahi nilai kompetitif dalam kompetisi, keputusan ini masih bisa dimengerti, karena penyebabnya murni berasal dari bencana alam yang memakan ribuan korban jiwa maupun luka, beserta kerusakan infrastruktur cukup luas.

Masih ada nilai kemanusiaan dan empati yang tampak di sini. Tidak elok bermain sepak bola, saat ada begitu banyak orang terdampak bencana alam.

Masalahnya, berdasarkan apa yang terjadi pada musim 2022-2023, keputusan PSSI justru menjadi satu potret ketidakbecusan mereka.

Memang, ada ratusan korban di Tragedi Kanjuruhan yang jadi titik awal masalah, tapi penyebabnya bukan berasal dari bencana alam. Ini murni kelalaian manusia.

Kalau bukan karena kelalaian manusia, tidak akan ada yang jadi tersangka, dan semua masih baik-baik saja.

Entah kenapa, saya justru merasa, Tragedi Kanjuruhan punya efek lebih katastrofik buat sepak bola nasional, dibanding bencana alam.

Hanya karena satu momen di satu tempat ini, kompetisi liga libur sampai dua bulan, sementara kompetisi Liga 2 dan 3 bubar. Padahal, dua kasta tersebut relatif tidak bermasalah.

Ironisnya, keputusan ini seolah mempertegas bagaimana PSSI menganggap Liga 1 sebagai anak emas, sementara lainnya dianggap anak tiri.

Soal sanksi, Arema FC, selaku tim tuan rumah saat Tragedi Kanjuruhan terjadi, memang dijatuhi larangan main di kandang sampai akhir musim.

Sekilas, ini tampak tegas. Sayang, ketegasan ini justru terlihat seperti formalitas, karena  kurang mempertimbangkan ratusan korban jiwa maupun luka yang jatuh.

Terlepas dari keberadaan Iwan Budianto (Waketum dan Exco PSSI) sebagai pemegang saham mayoritas klub, keputusan yang akhirnya diambil PSSI benar-benar menyedihkan. Hanya karena satu kelalaian, semua kena getahnya.

Yang cukup menyakitkan, Arema FC justru tetap berkompetisi, seolah tidak terjadi apa-apa. Padahal, ada ratusan korban jatuh.

Kalau memang masih berempati, segera setelah Tragedi Kanjuruhan, seharusnya mereka menarik diri dari kompetisi, seperti yang dilakukan PSS dan PSIM dulu.

Bagamanapun, mereka masih punya tanggung jawab moral, karena gagal mengedukasi suporter fanatik dan kurang baik dalam melaksanakan koordinasi antarpihak. Bukankah (konon katanya) tidak ada sepak bola seharga nyawa manusia?

Menariknya, selain menghadirkan kesan anak emas pada Liga 1, keputusan PSSI kali ini kembali menunjukkan, seberapa buruk mereka dalam mengelola sepak bola nasional.

Tidak ada manajemen krisis, apalagi "sense of crisis" pada keadaan darurat. Kalau masih sama bahkan lebih parah, mungkin sudah saatnya PSSI banting setir ke dunia komedi, karena mereka tidak pernah serius mengelola sepak bola nasional

Selama membedakan "force majeur" karena bencana alam dan kesalahan manusia saja masih belum lancar, jangan harap sepak bola nasional bisa lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun