Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Melihat Fenomena Pergeseran Budaya Setelah PPKM Dicabut

8 Januari 2023   19:54 Diperbarui: 17 Januari 2023   09:21 446
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dicabutnya PPKM oleh pemerintah, yang diumumkan secara resmi oleh Presiden Jokowi pada 30 Desember 2022 silam, menjadi satu babak baru masa pandemi di Indonesia. Keputusan ini menghadirkan satu kepastian, meski sebenarnya "pencabutan" itu sudah lama terlihat dalam keseharian di masyarakat.

Tentu saja, ini adalah "lampu hijau" yang membuat banyak orang bisa kembali leluasa. Tapi, ada satu hal yang tampaknya jadi "kemunduran", yakni kembalinya pandangan lama, khususnya tentang aktivitas seperti kerja dan ibadah (sebagai contoh di gereja).

Pandangan itu adalah "kerja di kantor" dan "pergi beribadah di tempat". Secara estetika, tidak ada yang salah dari ini. Masalahnya, agak disayangkan ketika cara pandang ini mengalami kemajuan berupa fleksibilitas tapi justru dibuang begitu saja.

Seperti diketahui, sejak membaiknya situasi pandemi, budaya "work from home" alias WFH mulai dikikis, atas pertimbangan kondisi. Jadi, jangan kaget ketika mereka yang bekerja di rumah kembali dipandang remeh.

Jelas ada rasa heran yang muncul. Sudah maju karena teknologi dan pola pikir adaptif, tapi kenapa malah mundur lagi?

Apalagi, ketika pandangan konservatif semacam itu justru menganggap fleksibilitas dan kepraktisan yang sudah ada sebagai satu wujud kemalasan.

Padahal, mungkin pekerjaannya bisa dilakukan di mana saja, selama ada koneksi internet, dan itu legal. Hasil kerjanya pun bisa langsung dikirim lewat teknologi digital, dengan nilai yang bahkan bisa lebih besar dari model konvensional.

Di gereja saja misalnya, masih ada medium "live streaming" pada sesi ibadah tertentu. Bahkan, sejak pandemi hadir, medium kolekte atau persembahan dalam ibadah (baik yang online maupun onsite) juga sudah menggunakan medium QRIS, disamping medium konvensional.

Meski kondisi sudah relatif lebih aman, medium ini nyatanya masih eksis, karena terbukti mampu memperluas jangkauan dan diterima dengan baik, tanpa harus berputar-putar dengan labirin birokrasi perizinan dan silang sengkarut khas Indonesia.

Semua perubahan ini terbukti praktis, legal, dan bebas potensi konflik, tapi tak dianggap berguna oleh sebagian orang yang berpandangan klasik.

Kalau cara pandang klasik itu benar-benar diikuti sikap konsekuen, mungkin masih bisa dipahami. Tapi, kalau ternyata ada standar ganda di situ, tentu boleh dipertanyakan.

Misalnya, kalau seseorang menganggap teknologi itu bikin malas, tapi dia sendiri hampir selalu mengandalkan "video call" atau sejenisnya untuk berinteraksi dan melakukan beragam aktivitas. Apa yang dipandang remeh ternyata justru sangat diandalkan.

Apa kata dunia?

Memang, ada gap generasi yang bisa membuat beragam perbedaan muncul, tapi kalau itu sampai mengaburkan sudut pandang objektif, mungkin ada yang salah. Dengan lebarnya gap generasi yang ada, percuma memperdebatkan perbedaan yang ada, karena nyaris tak ada titik temu.

Suka atau tidak, tak bisa dipungkiri kalau ini adalah satu masa yang menuntut banyak aspek untuk lebih adaptif. Bukan lagi sebatas berdebat soal benar atau salah, tapi melihat relevansi dengan dinamika yang ada.

Semakin tidak relevan, seharusnya itu boleh untuk tidak diikuti. Kecuali, kalau cara pandang "kalau ada yang ribet, kenapa harus simpel?" masih membudaya.

Ironisnya, fenomena pergeseran budaya dan pola pikir yang kita lihat sejauh ini menunjukkan, semaju apapun teknologinya, sebagus apapun sistemnya, percuma kalau pola pikirnya tidak ikut menyesuaikan.

Yang sudah maju bisa dipaksa melangkah mundur jauh, sementara yang ingin maju tetap tak bisa maju. Ada adaptasi, tapi ternyata bersifat temporer, karena mitigasi dan keberlanjutan masih belum membudaya.

Semoga semua tetap baik-baik saja. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun