Dicabutnya PPKM oleh pemerintah, yang diumumkan secara resmi oleh Presiden Jokowi pada 30 Desember 2022 silam, menjadi satu babak baru masa pandemi di Indonesia. Keputusan ini menghadirkan satu kepastian, meski sebenarnya "pencabutan" itu sudah lama terlihat dalam keseharian di masyarakat.
Tentu saja, ini adalah "lampu hijau" yang membuat banyak orang bisa kembali leluasa. Tapi, ada satu hal yang tampaknya jadi "kemunduran", yakni kembalinya pandangan lama, khususnya tentang aktivitas seperti kerja dan ibadah (sebagai contoh di gereja).
Pandangan itu adalah "kerja di kantor" dan "pergi beribadah di tempat". Secara estetika, tidak ada yang salah dari ini. Masalahnya, agak disayangkan ketika cara pandang ini mengalami kemajuan berupa fleksibilitas tapi justru dibuang begitu saja.
Seperti diketahui, sejak membaiknya situasi pandemi, budaya "work from home" alias WFH mulai dikikis, atas pertimbangan kondisi. Jadi, jangan kaget ketika mereka yang bekerja di rumah kembali dipandang remeh.
Jelas ada rasa heran yang muncul. Sudah maju karena teknologi dan pola pikir adaptif, tapi kenapa malah mundur lagi?
Apalagi, ketika pandangan konservatif semacam itu justru menganggap fleksibilitas dan kepraktisan yang sudah ada sebagai satu wujud kemalasan.
Padahal, mungkin pekerjaannya bisa dilakukan di mana saja, selama ada koneksi internet, dan itu legal. Hasil kerjanya pun bisa langsung dikirim lewat teknologi digital, dengan nilai yang bahkan bisa lebih besar dari model konvensional.
Di gereja saja misalnya, masih ada medium "live streaming" pada sesi ibadah tertentu. Bahkan, sejak pandemi hadir, medium kolekte atau persembahan dalam ibadah (baik yang online maupun onsite) juga sudah menggunakan medium QRIS, disamping medium konvensional.
Meski kondisi sudah relatif lebih aman, medium ini nyatanya masih eksis, karena terbukti mampu memperluas jangkauan dan diterima dengan baik, tanpa harus berputar-putar dengan labirin birokrasi perizinan dan silang sengkarut khas Indonesia.
Semua perubahan ini terbukti praktis, legal, dan bebas potensi konflik, tapi tak dianggap berguna oleh sebagian orang yang berpandangan klasik.