"Hidup adalah kompetisi.",
Begitu kata motivator.
"Hanya pemenang yang berhak punya masa depan."
Begitu kata pepatah.
Itulah beberapa omongan soal hidup, dan  diyakini kebanyakan orang. Makanya, ada begitu banyak hal yang jadi objek. Entah dilombakan atau tidak, ada saja wujudnya.
Ada bagus-bagusan sepatu, adu canggih gadget, sampai lomba soal status, karier, sampai barang koleksi.
Mungkin terlihat seru, tapi menjemukan. Ketika ada yang sudah punya gaji paling banyak dan jabatan paling tinggi, memangnya akan dapat pengakuan?
Belum tentu. Kadang, ada saja yang pintar mencari kekurangan. Biarpun itu hanya sekecil semut atau dari hal-hal yang sudah lalu, semuanya bisa dimasak ulang berkali-kali.
Meskipun sudah basi, beragam bumbu yang dicampurkan tetap bisa membuatnya terlihat sedap. Mungkin, ini penyebab munculnya istilah "gosip".
Di negara yang sebagian masyarakatnya masih doyan bergosip ini, urusan yang seharusnya pribadi pun bisa ikut dilombakan.
Dari urusan pernikahan sampai anak, terutama di satu generasi yang sama, suasana lomba sering terlihat.
Yang belum menikah akan dikejar target untuk segera menikah. Setelah menikah, targetnya naik level jadi punya anak dan menambah anak. Kalau perlu, sekalian membuat tim kesebelasan sendiri.
Kalau siap secara ekonomi, mungkin tidak masalah. Kalau tidak, ini hanya ladang panen masalah demi masalah.
Apakah yang "melombakan" itu akan ikut membantu atau membiayai? Kebanyakan, mereka hanya menghindar, pura-pura bodoh atau semacamnya.
Entah kenapa, hal-hal ini seperti jadi piala buat sebagian orang. Ada semacam konstruksi sosial yang menganggapnya satu kebanggaan tersendiri.
Ironisnya, jika itu terjadi terlalu cepat, apa yang biasanya bisa dibanggakan, bakal disembunyikan serapat mungkin. Begitu juga kalau harus berakhir kurang mengenakkan atau penuh masalah.
Andai "lomba" ini dilihat lagi, sebenarnya ini sama sekali bukan lomba. Meski berada di generasi yang sama, garis start nya tidak sama persis.
Mulai dari waktu lahir, kondisi, sampai garis nasib, tidak ada yang sama persis di semua sisi. Ada yang punya previlese, ada yang serba kekurangan.
Andai benar dilombakan, ini bukan lomba yang adil. Garis start dan medannya beda, begitu juga dengan garis finisnya.
Tidak ada lomba seperti itu. Kalau ada, itu tidak layak diikuti, karena penuh kecurangan. Kemenangan yang ada pun semu.
Ini adalah satu perjalanan, dengan garis awal dan akhir masing-masing. Tidak perlu berlari, hanya perlu berjalan sesuai jalur.
Tak usah peduli dengan kecepatan orang lain, karena itu belum tentu baik. Tidak semua punya jalur orang dalam, karena yang punya banyak koneksi saja kadang masih mencari koneksi dari orang lain.
Sudah banyak yang karier dan hidupnya kacau meski digaji tinggi. Banyak juga kasus korupsi, dari orang-orang yang sebenarnya sudah sangat kaya.
Ada juga yang pernikahannya penuh gejolak, bahkan hanya seumur jagung, dengan pesta begitu meriah. Orang mungkin akan mengingat, seberapa hebat pesta itu, tapi akhirnya jadi malu sendiri buat si pemilik pesta.
Ketika semuanya berakhir, apakah ada hadiah yang didapat? Apakah ada kumpulan medali atau trofi yang didapat?
Kalau ada, mungkin itu tetap tak ada artinya buat si pemilik, karena dia harus meninggalkan semuanya. Hanya ingatan yang akan tersisa, itupun kalau belum pudar dimakan waktu.
Di negeri tempat privasi cuma omong kosong, dan muka tembok ada dimana-mana, mereka yang biasa saja mungkin terlihat payah.
Tapi, ketika semua  harus berakhir, itu akan terasa damai buatnya. Tidak ada penyesalan, tidak ada musuh. Hanya ada rasa damai.
Perjalanan jelas bukan sebuah lomba. Ada titik awal sampai titik akhir dengan kisah masing-masing. Ini bukan soal siapa yang paling cepat, ini soal siapa yang sampai tujuan dengan selamat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H