Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Argentina, Dulu Maradona Sekarang Messi

20 Desember 2022   17:11 Diperbarui: 20 Desember 2022   17:24 806
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemenangan Argentina di Piala Dunia 2022 telah menghadirkan banyak cerita. Salah satunya tentang peran krusial Lionel Messi sebagai kapten tim dan inspirator permainan.

Tercatat, 7 gol dan 3 assist mampu dicetaknya dari 7 penampilan. Berkat performa ciamiknya, bintang PSG ini juga menjadi "Man of The Match" di 5 pertandingan dan terpilih sebagai pemain terbaik turnamen.

Performa luar biasa, nomor punggung 10, pemain terbaik turnamen, ban kapten dan inspirator tim. Semua atribut itu, ditambah postur boncel, kaki kidal, gocekan aduhai dan trofi juara dunia, mau tak mau membuat orang melihat Messi sebagai penerus sejati kebintangan Diego Armando Maradona di Piala Dunia 1986.

Atributnya kebetulan sama persis. Bedanya, Leo tak senyentrik El Diego, sinarnya pun lebih awet, karena mampu tetap eksis di sepak bola level atas sampai usia 35 tahun.

Dengan suksesnya Messi, bukan kejutan kalau namanya kelak akan jadi "benchmark" baru di Argentina. Jika dulu kita banyak mendengar sebutan "The New Maradona", nanti kita mungkin akan lebih banyak mendengar sebutan "The New Lionel Messi".

Sebelumnya, sebutan ini beberapa kali muncul di media, khususnya untuk pemain yang punya kecepatan dribel di atas rata-rata. "Hype" ini mulai muncul, khususnya setelah Messi mengantar Argentina ke final Piala Dunia 2014 dan terpilih sebagai pemain terbaik turnamen.

Memang, levelnya saat itu masih belum setara dengan Maradona, tapi nama Messi seperti jadi versi lain dari nama Maradona, yang kisah kehebatannya sudah seperti sebuah mitos epik.

Sebagai contoh, saat namanya mulai dikenal publik, Paulo Dybala (29) sempat mendapat julukan ini. Kebetulan, pemain yang juga meraih trofi Piala Dunia 2022 ini juga berkaki kidal seperti Messi.

Peraih medali emas Piala Dunia 2022 lain yang sempat mendapat label serupa adalah Thiago Almada (21). Pemain yang kini bermain di Atlanta United (Amerika Serikat) itu sempat mencuri perhatian saat memperkuat Velez Sarsfield di liga Argentina.

Dengan statusnya sebagai seorang juara Piala Dunia dan usianya yang masih muda, bukan kejutan kalau tak lama lagi Almada akan bermain di liga top Eropa.

Masih di Argentina, setelah Dybala dan sebelum Almada, ada juga nama Alexis Messidoro, yang bahkan mendapat julukan "Messi dari Boca", karena cukup mencuri perhatian saat memperkuat tim muda Boca Juniors. Kini, ia bermain di Liga 1 Indonesia bersama Persis Solo.

Tapi, seperti halnya label "The New Maradona" di masa lalu, label "The New Messi" atau sejenisnya menghadirkan dimensi yang cukup kompleks. Pada beberapa aspek, levelnya bahkan lebih rumit.

Penyebabnya, dalam hal prestasi di tim nasional, torehan La Pulga terbilang komplet. Selain meraih Piala Dunia junior dan senior seperti El Pibe De Oro, capaian bersejarah itu juga dilengkapi dengan medali emas Olimpiade 2008, Copa America 2021, dan Finalissima (sebelumnya Piala Konfederasi) 2022.

Itu masih belum termasuk torehan individu berupa sepasang Bola Emas Piala Dunia (yang jadi rekor turnamen), dua Bola Emas Copa America dan satu Sepatu Emas Copa America. Jangan lupa, Messi adalah pencetak gol terbanyak (98 gol) dan penampil terbanyak (172 caps) Tim Tango.

Itu baru di La Albiceleste, belum di level klub yang prestasinya seabrek, termasuk torehan 4 gelar Liga Champions dan 7 Ballon D'Or.

Dengan catatan prestasi seperti itu, kita sudah bisa melihat, bagaimana standar  yang ditinggalkan sang legenda, jika kelak pensiun. Bukan hanya tinggi, standar itu juga kompleks.

Saya menyebut demikian, karena selain membutuhkan kemampuan individu dan etos kerja di atas rata-rata, ada konsistensi jangka panjang dan pengaturan prioritas yang tak boleh terlupakan.

Soal pengaturan prioritas, mungkin terlihat remeh. Tapi, ini terbukti jadi kunci di balik sinar terang sang megabintang di Qatar, meski usianya sudah 35 tahun.

Seperti diketahui, Messi terpaksa hengkang ke PSG tahun 2021 akibat krisis keuangan di Barcelona. Sebagian pihak mungkin menganggap Si Kutu main aman, karena PSG dominan di Prancis dan rutin lolos ke Liga Champions.

Sebuah keputusan yang sempat jadi sorotan, terutama oleh fans berat Cristiano Ronaldo, rival lamanya, yang pada saat bersamamu memilih kembali ke Manchester United,  dan bermain di Liga Inggris.

Tapi, disinilah kecerdasan La Pulga berbicara. Ia tak hanya memikirkan karier dan gaji di klub, tapi juga tim nasional.

Selain mendapat gaji besar, juga terdapat klausa khusus di kontraknya. Dimana, ia diizinkan memprioritaskan tim nasional, khususnya di babak kualifikasi atau di turnamen besar seperti Piala Dunia.

Dengan komposisi tim yang sudah kuat dan bertabur bintang, klausa ini cukup masuk akal. Toh Les Parisiens (dan Ligue 1 Prancis secara umum) juga sudah ketiban banyak untung dengan kedatangan sang Argentino.

Jadi, klausa seperti itu bisa dimengerti. Ini seorang bintang yang sudah senior, tidak seperti sedekade lalu. Kalaupun Messi absen, masih ada Mbappe dan Neymar di lini serang PSG.

Terlepas dari adaptasi lambat di tahun pertama, penampilan bagus di awal musim kedua, dan rutin bermain di Liga Champions membantu levelnya tetap terjaga.

Sebaliknya, Ronaldo yang di tahun pertamanya cukup subur justru lekat dengan masalah di luar lapangan pada tahun kedua. Karena kurang fokus dengan aspek olahraga, kebugaran dan performanya jadi anjlok.

Puncaknya, bintang Portugal itu kini berstatus tanpa klub (buntut wawancara kontroversial dengan Piers Morgan) dan terlihat friksi dengan pelatih Fernando Santos di Timnas Portugal.

Maka, bukan kejutan kalau sang kapten akhirnya mampu memimpin Argentina berjaya di Qatar. Sebaliknya, Ronaldo menangis tersedu-sedu karena tak bisa berbuat banyak saat Seleccao tersingkir di babak perempat final oleh Maroko.

Dengan kompleksitas dimensi dalam kariernya, boleh dibilang Messi telah "menyempurnakan" warisan standar tinggi yang telah ditinggalkan Maradona.

Ada beragam prestasi individu dan tim, lengkap dengan gaya hidupnya yang relatif  lurus sebagai seorang atlet dan pribadi. Sinarnya yang awet, juga telah menjadi contoh, tentang bagaimana seorang bintang bisa terus bersinar di usia senior.

Sebuah contoh langka yang mungkin akan sulit dicari gantinya dalam waktu dekat. Tapi, jika Argentina bisa menemukan lagi pemain berbakat dengan gaya hidup tidak aneh-aneh, mungkin mereka tak perlu menunggu lama untuk menemukan bintang utama berikutnya.

Sementara itu, mari kita nikmati aksi-aksi dan inspirasi ajaib sang legenda Barcelona di lapangan sampai waktunya tiba.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun