Dalam turnamen sekelas Piala Dunia, termasuk Piala Dunia 2022, tim-tim Amerika Selatan (khususnya Brasil dan Argentina) biasa muncul sebagai penantang tim-tim Eropa. Maklum, kawasan ini rutin menghasilkan pemain top, berkat budaya sepak bola yang kental dan didukung sistem pembinaan pemain berkualitas.
Sebenarnya, Amerika Selatan masih punya Uruguay yang pernah berjaya di Piala Dunia 1930 dan 1950, tapi grafik yang cenderung inkonsisten membuat La Celeste agak kalah pamor dengan dua tetangganya itu.
Tim lain yakni Ekuador sebenarnya punya potensi, tapi mereka masih belum lama berkembang dan belum punya pengalaman sebanyak trio raksasa klasik itu.
Dalam perjalanannya, Ekuador dan Uruguay sendiri akhirnya tersingkir di fase grup dengan alasan berbeda. Ekuador kalah dari Senegal di pertandingan terakhir, sementara Uruguay kalah produktivitas gol atas Korea Selatan.
Alhasil, tinggal Brasil dan Argentina yang tersisa. Tapi, kedua tim menampilkan warna berbeda, kalau tidak boleh dibilang cukup kontras.
Brasil yang dimotori Neymar menari-nari di lini pertahanan Korea Selatan. Hanya perlu satu babak untuk unggul 4-0, dengan babak kedua lebih banyak dijadikan sebagai kesempatan Tim Samba untuk mengatur nafas.
Permainan menyerang nan mengalir anak asuh Tite terlihat meyakinkan. Persis seperti selebrasi tarian yang mereka peragakan usai mencetak gol.
Sebaliknya, Argentina terlihat kurang meyakinkan. Meski Lionel Messi mampu menginspirasi tim, mereka dibuat senam jantung di menit-menit akhir karena kebobolan. Beruntung, kemenangan 2-1 atas Australia masih mampu diamankan.
Selain inspirasi sang kapten, penampilan asuh Lionel Scaloni terlihat biasa saja jika dibandingkan sang rival bebuyutan. Taktis, Â pragmatis, dengan skor minimalis.
Tapi, gaya kontras itu justru menghadirkan hasil kontradiktif di babak perempat final. Pada Jumat (9/12) Brasil yang tampil dengan gaya menyerang kewalahan menghadapi determinasi para pemain Kroasia yang tampil bak gladiator.
Meski lebih baik secara individu, kekompakan Luka Modric dkk mampu menjadi lawan tangguh buat Neymar dkk. Diluar kedisiplinan dan semangat mereka, Vatreni juga menampilkan ketangguhan mental luar biasa.
Terbukti, anak asuh Zlatko Dalic tidak panik saat Neymar mencetak gol. Mereka bahkan mampu membuat skor imbang 1-1 lewat tembakan Bruno Petkovic, saat kemenangan sepertinya sudah hampir pasti diamankan Brasil.
Ketangguhan mental tim finalis Piala Dunia 2018 ini juga hadir sebagai pembeda, saat menghadapi adu penalti. Brasil yang tampak grogi harus membayar mahal kenaifan mereka, yang seharusnya bisa mengunci pertandingan lebih cepat.Â
Eksekusi Rodrygo diamankan Livakovic yang kembali jadi pahlawan Kroasia, dan tendangan penalti Marquinhos membentur tiang. Apa boleh buat, tim yang beberapa hari lalu menari gembira, terpaksa menangis karena kalah 4-2 di babak tos-tosan.
Kekalahan ini juga jadi laga terakhir Tite, yang langsung memutuskan mundur dari jabatan pelatih Selecao. Sebelumnya, eks pelatih Corinthians ini sudah berencana hengkang usai Piala Dunia 2022.
Situasi serupa tapi tak sama hadir pada Sabtu (10/12, dinihari WIB) saat Argentina bentrok dengan Belanda. Masih mengandalkan inspirasi Lionel Messi, dipadu dengan kecerdikan taktik Lionel Scaloni, situasi tampaknya terlihat lancar.
Taktik andalan Louis Van Gaal yang mengandalkan dua bek sayap berhasil diredam. Messi mampu membuat assist untuk gol Nahuel Molina dan mencetak gol  untuk membawa Seleccion unggul 2-0.
Tapi, tensi tinggi, ditambah kontra strategi jitu dari Van Gaal yang memasukkan Wout Weghorst sempat menghadirkan harapan buat De Oranje. Pemain Besiktas itu sukses mencetak dua gol di menit-menit akhir, yang memaksa pertandingan berakhir imbang 2-2.
Situasi semacam ini jelas bisa memukul mental tim yang kecolongan, seperti yang dialami Brasil saat menghadapi Kroasia. Beruntung, Argentina mampu menjaga ketenangan, dan memanfaatkan catatan buruk Tim Oranye yang hanya menang 1 kali di babak tos-tosan Piala Dunia.
Hasilnya, Albiceleste mampu menang 4-3, dengan Emiliano Martinez sukses menggagalkan eksekusi Virgil Van Dijk dan Steven Berghuis. Di babak semifinal, Tim Tango sudah ditunggu Kroasia.
Dalam sejumlah kesempatan, ketangguhan mental terbukti menjadi pembeda di Qatar, dengan tim-tim seperti Argentina, Maroko dan Kroasia mampu melewati, sementara tim favorit seperti Brasil dan Spanyol masuk kotak.
Disadari atau tidak, aspek mental ini seperti jadi penyempurna buat kualitas materi pemain dalam sebuah tim. Tim bagus yang punya mental kuat selalu jadi lawan tangguh, karena mereka tahu apa yang harus dilakukan, termasuk pada situasi kritis.
Meski Brasil akhirnya angkat koper, lolosnya Argentina ke semifinal Piala Dunia 2022 menjadi satu harapan tersisa buat wakil Amerika Selatan, dalam upaya mereka memutus paceklik gelar Piala Dunia sejak Brasil juara tahun 2002.
Dengan Messi yang masih bersinar terang dan tim yang cukup kuat, harapan itu memang ada. Tapi, kewaspadaan jelas harus ditingkatkan, karena Kroasia adalah tim yang mengalahkan Brasil.
Akankah asa juara itu terwujud di Qatar?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H