Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Senegal dan Sebuah Pembuktian

30 November 2022   11:56 Diperbarui: 30 November 2022   12:32 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diantara tim-tim wakil Afrika di Piala Dunia 2022, Senegal bisa dibilang menjadi tim paling diunggulkan untuk lolos ke fase gugur. Maklum, selain menduduki peringkat 18 FIFA, mereka juga punya materi pemain berkualitas di berbagai lini.

Sebelumnya, Tim Singa Teranga juga sempat menjadi juara Piala Afrika untuk pertama kalinya sepanjang sejarah dan lolos dari kualifikasi zona Afrika. Kedua capaian ini diraih, setelah menang adu penalti atas Mesir yang antara lain diperkuat Mohamed Salah.

Tapi, perjalanan tim asuhan Aliou Cisse di Qatar sempat dibayangi keraguan. Sebelum turnamen dimulai, mereka kehilangan Sadio Mane yang harus menjalani operasi cedera lutut.

Ini jelas sebuah pukulan telak, karena bintang Bayern Munich itu adalah motor serangan tim. Terbukti, tanpa Mane, serangan Senegal tumpul dan mereka tak kuasa menghindari kekalahan 0-2 atas Belanda di pertandingan pertama.

Beruntung, Kalidou Koulibaly dkk mampu bangkit dan meraih hasil positif di pertandingan kedua, dengan mengalahkan Qatar 3-1 lewat gol-gol Boulaye Dia, Dedhiou dan Bamba Dieng.

Kemenangan ini rupanya menjadi pemantik semangat tim di laga terakhir melawan Ekuador, Selasa (29/11) lalu. Menghadapi Ekuador yang hanya butuh hasil imbang untuk lolos, sang wakil Afrika tampak bermain dengan penuh semangat, seperti sedang menjalani partai final.

Meski kalah penguasaan bola (39%) dari Tricolor (61%), efektivitas permainan Senegal terbukti lebih ampuh, karena mampu membuat 2 gol hanya dari 3 tembakan ke gawang. Secara keseluruhan, perempatfinalis Piala Dunia 2002 ini membuat 14 tembakan.

Dengan kata lain, setiap kali ada momen untuk menyerang, itu hampir selalu dimanfaatkan untuk membuat peluang. Hasilnya, lini belakang Ekuador kerepotan dan kebobolan lewat penalti Ismaila Sarr di akhir babak pertama, menyusul pelanggaran Hincapie di kotak terlarang.

Memang, wakil Amerika Selatan ini sempat merespon lewat gol Moises Caicedo di menit ke 67, tapi gol Kalidou Koulibaly memastikan Senegal menang dan lolos ke babak perdelapan final bersama Belanda, yang keluar sebagai juara grup usai mengalahkan Qatar 2-0 di pertandingan lainnya.

Dengan hasil ini, rasa penasaran akibat kegagalan dramatis di Piala Dunia 2018 akhirnya terlunasi. Seperti diketahui, di turnamen itu, Sadio Mane dkk tersingkir di fase grup, akibat mengantongi jumlah kartu kuning lebih banyak dari Jepang, meski bernilai sama secara selisih gol dan poin.

Bukan cuma itu, The Teranga Lions berpeluang mengulang (bahkan melampaui) capaian hebat di Piala Dunia 2002, jika mampu mengalahkan Inggris di babak perdelapan final sebagai ujian awal.

Di sisi lain, lolosnya Senegal ke fase gugur Piala Dunia 2022 menjadi satu fenomena menarik. Meski tanpa Sadio Mane, tim ini tetap mampu berkembang sebagai sebuah tim. Mirip seperti Kolombia di Piala Dunia 2014: mampu melangkah jauh,  meski tanpa Radamel Falcao yang cedera.

Di bawah bimbingan Aliou Cisse, pemain-pemain yang selama ini berada di bawah bayang-bayang nama besar Mane macam Boulaye Dia dan Ismaila Sarr mampu bersinar di lini depan.

Di pos pertahanan, pelatih bergaya rambut ala Bob Marley ini mampu menyulap Kalidou Koulibaly dan Edouard Mendy yang melempem di Chelsea menjadi benteng kuat. Koulibaly mampu mengamankan ancaman di lini belakang, sementara Mendy mampu membuat sejumlah penyelamatan penting di bawah mistar.

Jika keduanya mampu membungkam Inggris dan celotehan media Inggris di perdelapan final, mungkin ini akan jadi pembuktian keren: mereka bukan pemain jelek, tapi menjadi tampil jelek di klub karena sistem permainan yang diterapkan tak mampu mengoptimalkan kemampuan mereka, seperti saat berseragam Timnas Senegal.

Secara tim, Senegal juga menjadi satu contoh menarik dari sebuah tim berlabel "Generasi Emas". Mereka tidak hanya diperkuat pemain-pemain bintang, tapi juga meraih trofi juara di tingkat benua.

Di level lebih tinggi, label itu juga diikuti dengan kualitas sepadan, karena mereka masih mampu berkembang sekalipun dalam situasi kurang ideal, di bawah bimbingan sosok berpengalaman (baik sebagai pemain maupun pelatih tim nasional).

Ini menjadi sebuah pembuktian menarik, karena mereka mampu melewati masa-masa sulit: dari Piala Afrika ke kualifikasi, dari kehilangan Mane ke fase gugur di Qatar.

Jika kesinambungan ini bisa terus dilanjutkan, rasanya Senegal masih akan jadi satu tim kelas dunia dari Afrika, setidaknya dalam beberapa tahun ke depan.

Akankah?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun