"Tidak pernah diingat saat ratusan hari sehat, tapi sekali sakit, akan diingat sampai ratusan kali."
Kedengarannya kejam, tapi inilah yang sering terjadi. Seperti kiper yang membuat banyak penyelamatan penting, tapi sekali kebobolan langsung jadi sasaran empuk
Apakah aku boleh marah?
Sebenarnya iya.
Manusia tidak selalu sehat tanpa masalah. Ada kalanya sakit datang saat cuaca buruk atau salah makan. Entah karena rasanya terlalu pedas, asin atau ada halangan lain.
Sesehat apapun manusia, mereka pasti punya "drop time" barang sebentar. Seperti pit stop bagi mobil balap.
Sekalipun bukan penyakit berat, sakit masih jadi satu kodrat manusia. Inilah waktu yang seharusnya pas, untuk mengisi baterai sejenak.
Masalahnya, dunia kadang punya sisi lucu, karena menghadirkan orang-orang yang cenderung obsesif, termasuk soal kesehatan. Entah apa yang mereka pikirkan, tapi obsesi mereka cenderung ajaib, karena pada titik ekstrem menganggap sebuah momen sakit seperti satu dosa tak terampuni.
Bagian paling menjengkelkannya adalah, ketika mereka mendiagnosa seperti seorang ahli, dan mempersalahkan  kebiasaan si orang sakit dengan cenderung membabi buta, bahkan mengabaikan sikap jujur seperti membuang rongsokan.
Ketika mereka mengeluarkan larangan yang mulai absurd, dan tidak sesuai kapasitas, aku berani melanggarnya, karena memang itu tidak seharusnya.
Persetan dengan label kurang ajar atau sejenisnya. Itu toksik dan sama sekali tidak membantu.
Tubuhku lebih membutuhkan waktu dan cukup dukungan untuk pulih, bukan cercaan yang tidak pada porsinya.
Salah satu sikap itu aku perlihatkan, ketika aku menyeduh segelas kopi hitam tanpa gula. Tanpa mencecarku sepatah katapun, kopi Arabika dari Mandailing itu langsung memberi apa yang kubutuhkan: sebuah rasa pening dan teler di kepala, seperti obat penenang.
Dia seperti paham betul, pikiran dan tubuhku sedang kacau, dan aku butuh istirahat barang sejenak. Mungkin, inilah efek antidepresan kopi yang kadang luput dari perhatian, dibanding efek dopingnya yang sudah tersohor.
Sensasi itu membantuku tidur nyenyak, untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir. Aku sangat berterima kasih padanya.
Seperti biasa, tanpa berlagak seperti ahli, apalagi merasa diri paling pintar, segelas kopi hitam tanpa gula itu memberi apa yang sangat kubutuhkan.
Seperti seorang sahabat dalam situasi susah dan senang, dia mau memahami dan membantu tanpa menghakimi.
Dia sukses mengalihkan ketidakmampuan fisikku untuk marah, menjadi satu rasa lelah yang membantuku beristirahat.
Kadang, aku bingung dengan pandangan obsesif soal kesehatan atau semacamnya. Manusia memang bisa mengendalikan banyak hal, tapi yang berada diluar kendali, termasuk cuaca, jauh lebih banyak.
Sehebat-hebatnya pawang hujan, dia tetap punya batas yang harus dihormati, demi menjaga keseimbangan.
Apalagi kalau itu coba dipaksakan ke orang lain. Pandangan obsesif semacam ini kadang bisa membuat orang jadi terasing dari lingkungannya, seperti ekstremis (dalam hal apapun).
Bagi mereka, obsesi ini adalah satu perjuangan, tapi aku tidak ingin menjadi ekstrem, untuk hal-hal yang tidak sesuai porsi manusia sebagai manusia.
Aku hanya ingin hidup sebagai manusia, dan mati juga sebagai manusia suatu saat nanti, meskipun tubuh ini tidak dianggap "utuh" sebagai manusia, oleh mereka yang masih diskriminatif. Itu saja.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H