Sebelum ini, sinkronisasi antarpihak juga terbukti bermasalah, dengan Tragedi Kanjuruhan jadi contoh yang bahkan sudah mendunia. Selama sinkronisasi antarpihak ini masih belum padu, jangan adakan kompetisi, karena taruhannya terlalu mahal: nyawa manusia.
Di sini, PSSI juga perlu mematuhi rekomendasi dari aparat keamanan, khususnya terkait jam kick off pertandingan dan izin terkait. Kalau misalnya pihak aparat keamanan merekomendasikan pertandingan digelar tanpa penonton pun, rekomendasi ini harus dipatuhi.
Persetan dengan rating televisi, yang penting semuanya selamat. Tidak ada sepak bola seharga nyawa manusia.
Di sisi lain, jika benar ujicoba pertandingan dengan penonton akan tetap dilakukan, pengaturan jumlahnya harus tepat. Tidak boleh kurang atau lebih, demi keselamatan bersama.
Maka, PSSI perlu mulai mewajibkan jual beli tiket secara online, supaya perilaku tertib bisa dibudayakan. Kalau suporter bisa tertib, oknum suporter anarkis bisa dikikis perlahan.
Suka atau tidak, kita juga perlu mengakui, diluar aspek fanatisme, masalah ketertiban adalah satu pemicu paling umum aksi anarkis oknum suporter, termasuk mereka yang menyusup masuk ke lapangan hijau dan melakukan perusakan.
Selama masih ada yang tidak tertib, masalah masih akan terus datang. Jika PSSI Â hanya memikirkan untung dan mengabaikan hal-hal penting seperti ketertiban, keamanan dan kelayakan, jangan kaget kalau di masa depan sepak bola nasional (masih) dianggap sebagai salah satu ancaman gangguan keamanan masyarakat.
Sepak bola memang olahraga populer di masyarakat, tapi, selama tata kelolanya terlalu bobrok sampai mengakibatkan banyak korban jiwa maupun luka-luka, ia hanya akan mendatangkan trauma demi trauma bagi para korbannya.
Kemenangan atau poin bisa diraih di kesempatan lain, tapi nyawa yang hilang tidak bisa diganti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H