Seperti diketahui, selama ini publik sepak bola nasional sudah banyak melihat pergantian Ketum PSSI, tapi progresnya begitu-begitu saja. Ketua Umum memang berganti, tapi tidak dengan pengurusnya.
Ada yang menjabat sampai puluhan tahun, Â ada juga yang ikut jadi pengurus klub. Apa boleh buat, gesekan konflik kepentingan pun tak terhindarkan.
Hasilnya, kita sering dipaksa melihat, ada klub yang melakukan pelanggaran berat tapi disanksi ringan, atau mendapat previlese dari segi jadwal dan keputusan wasit yang menguntungkan, terutama saat sebuah tim bermain di kandang sendiri.
Hasilnya, kompetisi menjadi tidak sehat dan jauh dari ideal, mulai dari verifikasi sampai eksekusi. Maka, jangan kaget kalau melihat performa klub Indonesia di level Asia masih masuk angin.
Soal verifikasi, itu memang rutin diberitakan di media, tapi Tragedi Kanjuruhan justru menunjukkan, verifikasi itu hanya formalitas.
Bukan hanya itu, label profesional yang selama ini banyak disebut, ternyata juga masih belum benar-benar bersifat profesional. Buktinya, pengaturan jadwal siaran televisi saja masih berantakan.
Ini baru yang sudah terlihat, belum hal-hal lain, seperti fanatisme sempit, transparansi keuangan yang minim, dan edukasi kepada suporter.
Dengan ruwetnya masalah yang ada, pembaruan memang sudah sepatutnya segera dilakukan. Jika sudah beres, barulah liga bisa kembali bergulir.
Tapi, jangan sampai pembaruan itu menghancurkan persiapan Timnas Indonesia menuju Piala Asia (U-20 dan senior) dan Piala Dunia U-20 2023.
Maka, penting untuk memastikan pelatih Shin Tae-yong bisa bertahan, minimal sampai kontraknya tuntas tahun depan.
Ini penting, karena Timnas Indonesia belakangan sedang berprogres positif di bawah pelatih asal Korea Selatan itu.