Bicara soal menulis, setiap orang yang menekuninya pasti paham, kalau ada beragam rasa yang muncul di sini. Salah satu rasa yang kadang muncul adalah rasa sebal, entah karena kehabisan stok ide, tidak menang lomba, tidak dapat label, dan entah apa lagi.
Soal rasa sebal dalam menulis, perasaan itu kadang muncul karena melihat ke sekitar, entah dari suasana atau keriuhan di sekitar. Di satu sisi, ini memang bisa memicu semangat lebih untuk menulis.
Tapi, ini jadi menyebalkan, karena jika terlalu dibiasakan bisa menggerus rasa nyaman dalam menulis. Pada awalnya, memang ada semangat untuk menulis, terutama kalau tulisan itu bisa menang lomba atau populer karena mendapat banyak pembaca atau penilaian.
Pertanyaannya, bagaimana kalau tulisan itu ternyata sepi, dan hanya jadi penggembira di lomba?
Rasa kecewa sudah pasti ada, dan kalau ini  tidak diantisipasi, pasti semangat menulis langsung padam. Maka, perlu ada cara untuk menjaga semangat ini tidak cepat padam.
Antusiasme itu tidak harus terlihat dari perilaku yang bisa dilihat dari luar, tapi bisa terlihat dari tulisan yang kita buat.
Satu pandangan dasar, yang mungkin bisa membantu semangat menulis tetap terjaga adalah apa tujuan dan sebagai siapa kita menulis.
Jika tujuannya murni karena ingin menulis, tanpa embel-embel apapun sebagai diri sendiri, rasa lelah atau ingin berhenti tidak akan mudah datang, tapi, kalau ada maksud lain, termasuk ekspektasi terlalu tinggi, tinggal tunggu saja momen yang tepat untuk berhenti.Â
Semakin tinggi ekspektasi, semakin menyakitkan rasanya kalau gagal, karena kegagalan tidak disambut sebaik kemenangan.
Ada kalanya, momen berhenti itu hanya bersifat temporer. Bisa karena jenuh atau kesibukan lain.