Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Dua Sisi Suporter Fanatik di Sepakbola Nasional

26 September 2022   14:26 Diperbarui: 28 September 2022   16:31 811
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelampiasan kekecewaan suporter Persebaya Surabaya seusai kalah dari RANS Nusantara FC saat pertandingan pekan ke-10 Liga 1 2022-2023 yang berakhir dengan skor 1-2 di Stadion Gelora Delta Sidoarjo, Kamis (15/9/2022) malam.(KOMPAS.com/SUCI RAHAYU)

Bicara soal sepak bola nasional, satu hal yang cukup lekat dengannya adalah antusiasme penonton. Berkat sebagian masyarakat yang secara kultur tergolong "gila bola", antusiasme penonton pada olahraga satu ini tergolong tinggi.

Karenanya, wajar kalau banyak klub di liga Indonesia yang punya basis suporter fanatik. Tak peduli itu klub kasta tertinggi atau bukan, hampir bisa dipastikan, dimana ada klub, disitu ada suporter fanatik.

Jika mampu dijaga ketertibannya dan teredukasi dengan baik, suporter fanatik adalah satu kekuatan sekaligus daya tarik spesial. Kehadiran mereka di berbagai situasi, adalah satu alasan, mengapa label "The Beautiful Game" lekat dengan sepak bola.

Dalam banyak kesempatan, suporter fanatik menampilkan gairah dan rasa cinta luar biasa buat klub kesayangan, lewat beragam gaya. Dari yang biasa sampai sangat ekspresif.

Dari mereka, selalu ada tambahan energi istimewa di tiap pertandingan, entah dalam bentuk semangat atau materi (dari hasil penjualan tiket, sponsor maupun merchandise). Makanya, suporter kerap disebut sebagai "pemain ke 12" di setiap tim.

Jika suporter itu tidak teredukasi dengan baik, mereka kadang jadi "pedang bermata dua" buat klub kesayangan. Kalau kata lirik lagu "Madu dan Racun", golongan suporter ini ibarat membawa madu berupa potensi keuntungan di tangan kanan, dan racun berupa potensi kerugian di tangan kiri.

Keduanya bisa muncul secara acak tanpa bisa dipilih. Kalau dapat madu, sudah pasti untung, kalau tidak ya rugi. Sesederhana itu.

Di Indonesia, contoh aktual dari dinamika ini hadir di klub Persebaya Surabaya dengan Bonek-nya yang terkenal militan. Di manapun tim itu bermain, Bonek selalu ada sebagai pemain ke 12 tim di stadion.

Kesolidan Bonek juga sudah terbukti, saat mereka berani untuk bersikap tegas, saat klub kesayangan mereka sempat digoyang dualisme kepengurusan.

Soal kesetiaan pun tak kalah istimewa, karena mereka tetap setia saat The Green Force sempat terdegradasi dari kasta tertinggi.

Berkat kesetiaan Bonek yang militan, klub berkostum kebesaran warna hijau ini juga dikenal cukup populer di media sosial, berkat punya basis pendukung luas.

Karenanya, sponsor pun datang silih berganti. Belakangan, kelebihan ini mampu menarik minat klub sekelas Borussia Dortmund untuk beruji coba dalam tur klub Bundesliga Jerman itu di Asia Tenggara.

Masalahnya, di balik potensi cuan dan animo suporter yang luar biasa itu, masih terselip masalah perilaku anarkis oknum suporter yang bisa merugikan klub.

Paling gres, akibat aksi anarkis yang dilakukan di Stadion Gelora Delta Sidoarjo, 15 September silam, saat takluk 1-2 atas RANS Nusantara FC.

Oleh Komdis PSSI, Persebaya dijatuhi hukuman denda 100 juta rupiah, ganti rugi kerusakan stadion, dan hukuman lima pertandingan kandang tanpa penonton.

Tentu saja, ini adalah satu kerugian besar secara psikologis, karena tim asuhan Aji Santoso sedang berjuang memperbaiki tren negatif. Maklum, mereka mencatat tiga kekalahan beruntun di Liga 1.

Kerugian psikologis itu semakin parah, karena rentetan sanksi dan denda yang didapat menghasilkan estimasi kerugian material sampai miliaran rupiah, seperti disebutkan dalam akun Instagram resmi Persebaya, Minggu (25/9).

Berangkat dari situasi ruwet yang ada, bukan kejutan kalau Azrul Ananda lalu memutuskan mundur sebagai CEO klub.

Meski belakangan dikritik sebagian suporter karena terlalu memperhatikan aspek bisnis, keputusan mundur yang belakangan ditolak manajemen ini justru menunjukkan, ada masalah tak kalah rumit, di balik potensi besar Bajul Ijo, antara lain dari basis suporter mereka.

Aksi anarkis oknum suporter Persebaya di Gelora Delta Sidoarjo (Tribunnews.com)
Aksi anarkis oknum suporter Persebaya di Gelora Delta Sidoarjo (Tribunnews.com)

Masalah ini tampaknya masih mengakar, karena sudah ada sejak lama dan masih terulang. Akibatnya, potensi yang ada masih jadi potensi saja, dan angka kerugian akibat aksi anarkis oknum suporter masih saja besar dari tahun ke tahun.

Padahal sepak bola modern adalah satu mesin uang raksasa, jika dikelola dengan benar dan bebas masalah. Masalahnya, itu tampaknya masih sulit diterapkan di Persebaya, seperti halnya di sebagian besar klub Liga Indonesia.

Belum ada rencana jangka panjang yang bisa diterapkan, karena ekspektasi sebagian suporter masih begitu tinggi, khususnya untuk target prestasi jangka pendek.

Meleset dari target sedikit saja, bongkar tim, ganti pelatih, apalagi kalau tim tampil jauh di bawah ekspektasi. Suporter fanatik bisa mengamuk di stadion, kas klub pun tekor akibat panen sanksi.

Apa boleh buat, apa yang tadinya jadi sebuah kekuatan justru jadi senjata makan tuan. Imbasnya, cap negatif didapat suporter secara umum, meski pelakunya hanya oknum.

Sepak bola yang sejatinya adalah olahraga dan hiburan masyarakat pun berubah jadi potensi ancaman gangguan keamanan, setiap kali suporter fanatik ambil bagian.

Mau sampai kapan begini terus?

Karena masalah ini sudah punya rekam jejak cukup panjang, sudah saatnya PSSI, manajemen klub dan semua pihak terkait melakukan edukasi, penertiban, dan pembenahan menyeluruh, misalnya dengan menggandeng aparat keamanan, seperti yang dilakukan di Inggris, yang dulu lekat dengan masalah hooliganisme.

Ini penting, supaya daya rusak yang dihasilkan dari kemarahan suporter bisa dialihkan ke hal-hal yang lebih konstruktif.

Kalaupun ada kritik atau protes yang ingin dilakukan, caranya bukan lagi melakukan aksi anarkis. Bisa lewat tulisan, meme lucu, dan sebagainya.

Di era modern seperti sekarang, seharusnya cara-cara dan pola pikir modern yang positif bisa diterapkan. Kalau masih tidak bisa, berarti ada yang salah. Jadi, suporter bisa lebih teredukasi untuk mampu bersikap dewasa, sesuai dengan dinamika yang ada. Mereka bisa melihat sepak bola dengan perspektif jauh lebih luas dari sebatas menang atau kalah, karena sepak bola bukan hanya soal hasil akhir, tapi keberlanjutan ke arah positif di segala aspek.

Bisa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun