Berkat kesetiaan Bonek yang militan, klub berkostum kebesaran warna hijau ini juga dikenal cukup populer di media sosial, berkat punya basis pendukung luas.
Karenanya, sponsor pun datang silih berganti. Belakangan, kelebihan ini mampu menarik minat klub sekelas Borussia Dortmund untuk beruji coba dalam tur klub Bundesliga Jerman itu di Asia Tenggara.
Masalahnya, di balik potensi cuan dan animo suporter yang luar biasa itu, masih terselip masalah perilaku anarkis oknum suporter yang bisa merugikan klub.
Paling gres, akibat aksi anarkis yang dilakukan di Stadion Gelora Delta Sidoarjo, 15 September silam, saat takluk 1-2 atas RANS Nusantara FC.
Oleh Komdis PSSI, Persebaya dijatuhi hukuman denda 100 juta rupiah, ganti rugi kerusakan stadion, dan hukuman lima pertandingan kandang tanpa penonton.
Tentu saja, ini adalah satu kerugian besar secara psikologis, karena tim asuhan Aji Santoso sedang berjuang memperbaiki tren negatif. Maklum, mereka mencatat tiga kekalahan beruntun di Liga 1.
Kerugian psikologis itu semakin parah, karena rentetan sanksi dan denda yang didapat menghasilkan estimasi kerugian material sampai miliaran rupiah, seperti disebutkan dalam akun Instagram resmi Persebaya, Minggu (25/9).
Berangkat dari situasi ruwet yang ada, bukan kejutan kalau Azrul Ananda lalu memutuskan mundur sebagai CEO klub.
Meski belakangan dikritik sebagian suporter karena terlalu memperhatikan aspek bisnis, keputusan mundur yang belakangan ditolak manajemen ini justru menunjukkan, ada masalah tak kalah rumit, di balik potensi besar Bajul Ijo, antara lain dari basis suporter mereka.
Masalah ini tampaknya masih mengakar, karena sudah ada sejak lama dan masih terulang. Akibatnya, potensi yang ada masih jadi potensi saja, dan angka kerugian akibat aksi anarkis oknum suporter masih saja besar dari tahun ke tahun.