Sekembalinya dari Jakarta pun, rekening ini sekali lagi hanya saya pandang dari segi fungsi, yakni sebagai tempat tujuan saat upah dibayar dan disimpan, atau membayar belanja pribadi.
Soal bunga, saya tidak terlalu peduli. Jumlahnya tidak sebanding dengan biaya admin rekening dan kartu debit. Selama tidak ada pemasukan, atau tidak ada bunga, jumlahnya tetap minus.
Sementara itu, rekening tabungan yang satunya saya buka tahun 2021 lalu, karena memang diwajibkan oleh tempat magang saya saat itu. Rekening ini jadi tempat menerima upah, sekaligus untuk keperluan transfer keluar masuk. Tidak ada bunga, tapi tetap ada biaya admin.
Di satu sisi, ini agak menjengkelkan, karena sebagai pekerja serabutan yang angka pemasukannya tidak menentu, saya jadi punya beban rutin bulanan. Tapi, ini juga jadi patokan bagus, karena ada target minimal setoran rutin ke rekening tiap bulan.
Meski angkanya tipis, barang seribu rupiah, selama nilainya masih lebih besar dari potongan biaya admin, itu sudah cukup bagus. Menabung dengan bunga minimalis, bahkan tanpa bunga sekalipun, tidak jadi masalah besar buat saya.
Dari segi fungsi, kepraktisan aplikasi digital perbankan juga cukup membantu saat harus belanja online. Soal harga atau selera, seharusnya itu relatif.
Selama punya dana sendiri, saat butuh atau ingin belanja dan ada dananya, tinggal beli, bayar kontan. Sekali tembak langsung beres. Kalau kurang atau tidak ada sama sekali, lupakan dulu sampai uangnya cukup.
Pendekatan ini memang kuno, tapi sejauh ini membuat saya tenang. Bebas hutang juga.
Masalahnya, dengan adanya kebijakan Bunga 0 Persen ini, ada satu pertanyaan usil, yang muncul di pikiran saya.
Bagaimana cara mengedukasi masyarakat untuk menabung, jika satu daya tarik lamanya dihilangkan?
Pertanyaan ini jujur saja cukup menggelitik, karena kecenderungan perilaku konsumtif di Indonesia masih cukup tinggi.Â