Bicara soal kiprah Juventus, khususnya dalam lima tahun terakhir, ada kesan membingungkan yang kerap muncul. Kesan ini hadir, karena mereka kerap mengubah arah kebijakan dan rencana klub, tapi malah stagnan, bahkan cenderung menurun belakangan ini.
Di lapangan, beberapa bintang kelas atas hadir dan menambah kekuatan tim. Mulai dari Cristiano Ronaldo dan terkini Angel Di Maria dan Paul Pogba.
Tapi, bintang bintang tersebut kadang terganggu dengan masalah cedera atau penurunan performa. Di sisi lain, tim yang ada kurang kompetitif untuk terus bersaing di pacuan gelar, khususnya di tingkat Eropa.
Memang, Si Zebra sempat dominan di Liga Italia selama nyaris satu dekade, dan dua kali lolos ke final Liga Champions. Masalahnya, mereka tidak konsisten dalam hal perencanaan.
Terbukti dalam lima tahun terakhir, tarik ulur antara pendekatan "main cantik" dan pragmatis menjadi garis besar cerita mereka.
Awalnya, gaya main pragmatis di periode pertama Massimiliano Allegri dipandang cukup menjanjikan. Maklum, selain mampu membawa Juve dominan di liga, sepasang penampilan di final Liga Champions pun ikut dicatatkan.
Tapi, kemandekan progres tim di Eropa dan minimnya variasi taktik, akhirnya membuat gagasan untuk coba menerapkan gaya main lebih menghibur muncul.
Tak lama setelah dieliminasi Ajax di perempat final Liga Champions 2018/2019, Allegri akhirnya didepak dan diganti dengan Maurizio Sarri, pelatih yang dikenal dengan gaya main agresif dan pressing ketat.
Apakah masalah selesai setelah itu?
Ternyata tidak.