Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

"Quiet Quitting", Sebuah Langkah Koreksi

7 September 2022   00:43 Diperbarui: 8 September 2022   08:40 1040
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam beberapa waktu terakhir, bahasan tentang fenomena quiet quitting alias bekerja seperlunya mengemuka di Indonesia, khususnya di media sosial, dengan "Gen Z" sebagai pelaku umum. Sebelumnya, fenomena ini sudah lebih dulu dibahas di sejumlah negara.

Pro kontra memang mewarnai bahasan soal ini. Ada yang menyebut ini sebentuk kemalasan, ada juga yang menyebutnya sebagai bagian dari gaya hidup "work life balance", dan entah apa lagi.

Tapi, dari apa yang sejauh ini saya amati, sebenarnya ini adalah sebentuk langkah koreksi, yang disampaikan dengan satu gaya khas "Generasi Z". Gaya khas yang saya maksud di sini adalah kecenderungan untuk berbicara lewat tindakan.

Dalam artian, mereka cenderung lebih suka menghindari konfrontasi atau perdebatan secara langsung, karena dinilai tidak efektif, terutama jika pihak yang dihadapi cenderung hirarkis atau terlalu dominan.

Kalaupun harus disampaikan secara langsung, itu hanya akan dilakukan kepada orang yang menurut mereka nyaman untuk diajak bicara. Sekalipun orang itu terlihat sangat pendiam dari luar, rasa nyaman akan membuatnya terlihat jauh berbeda saat ada yang mau mendengarkan.

Jika tidak ada yang mau mendengar, tindakanlah yang akan bicara. Dengan harapan, itu bisa dirasakan dan disadari.

Daripada pekerjaan terhambat, lebih baik bertindak langsung lewat tindakan. Kerja beres, keluhan pun tersampaikan secara praktis. Melakukan protes hanya buang-buang tenaga. Kalau ada yang mudah, kenapa harus dibuat sulit?

Kecenderungan Generasi Z untuk berpikir praktis menjadi satu fenomena umum, yang kebetulan saya temui langsung, baik dari rekan kerja atau saudara, yang secara umur masuk kategori ini, yakni mereka yang lahir antara tahun 1996-2009.

Selain kecenderungan untuk berpikir praktis, mereka juga lebih "melek" dalam hal teknologi. Makanya, bukan kejutan kalau gaya berekspresi mereka cenderung lebih canggih. Tidak selalu frontal atau keras, tapi selalu mengena.

Bentuknya pun beragam, ada yang membuat unggahan dengan pesan tersirat di media sosial, ada yang membuat meme, bahkan ada juga yang mengungkapkan langsung di media sosial.

Tanpa harus pusing melihat fenomena quiet quitting pun, gaya berekspresi mereka yang cenderung "praktis" sudah bisa dilihat, misalnya dari unggahan mereka di media sosial.

Jadi, jika melihat prosesnya, fenomena yang kita lihat sekarang adalah bagian dari kebiasaan yang sudah mereka bangun sejak dini.

Daripada mengkritik sisi "kemalasan" dari fenomena quiet quitting saya justru lebih suka menyebutnya sebagai sebuah gerakan koreksi, yang kebetulan dilakukan para pekerja, khususnya dari "Generasi Z".

Seiring tumbuhnya fenomena "jam kerja fleksibel" dan "hustle culture", yang disusul munculnya budaya kerja "WFH" dan "WFA" sejak awal masa pandemi, batasan-batasan normatif seperti jam kerja, besaran upah dan uang lembur jadi kabur, seperti kembali ke sistem kerja rodi era kolonial.

Dengan sulitnya kondisi keuangan di masa pandemi, banyak perusahaan yang melakukan penyesuaian, termasuk dalam hal gaji dan tuntutan kerja. Karena tuntutan keadaan, banyak pekerja yang gajinya dipotong cukup banyak, tapi jam dan beban kerjanya justru semakin banyak. Apalagi, ketika batasan tempat dan waktu kerja dibuat sangat fleksibel.

Di sisi lain, masih tidak efektifnya budaya kerja yang eksis saat ini menjadi satu pemicu umum, dari mencuatnya fenomena quiet quitting. Persis seperti kata pepatah "tidak ada asap tanpa ada api".

Dalam banyak kasus, birokrasi yang berbelit dan pendekatan yang terlalu hierarkis di perusahaan gaya lama, jelas "beda alam" dengan cara berpikir praktis ala Gen Z. Makanya, banyak usaha rintisan yang muncul dan sukses menggaet Gen Z, karena mampu memanfaatkan perbedaan ini. Sayang, banyak usaha rintisan yang akhirnya kolaps karena salah urus.

Mereka melihat masalah ini dan coba menerapkan pendekatan berbeda. Hasilnya, muncul budaya kerja fleksibel, yang dalam perkembangannya justru jadi celah untuk mengeksploitasi tenaga kerja.

Atas nama dedikasi, ketiadaan upah lembur dan kerja di hari libur dianggap wajar. Padahal, secara normatif ini melanggar ketentuan undang-undang.

Masalah lain yang tampaknya juga bentrok dengan alam pikiran Gen Z adalah masalah kegiatan yang kurang efisien, seperti acara-acara hangout di luar jam kerja yang terlalu sering.

Dari segi waktu, acara semacam ini jelas kurang efisien, karena mengurangi waktu istirahat. Sementara itu, dari segi biaya, hangout yang terlalu sering bisa bikin isi dompet cepat tekor.

Di saat harga kebutuhan terus naik tapi gaji bisa turun seenaknya, membudayakan sikap konsumtif seperti ini sama dengan bunuh diri, karena belum tentu akan ada yang akan menolong saat kesulitan, tapi sudah pasti akan ada yang menyalahkan.

Satu lagi, sebagai generasi yang melek informasi, mereka juga mulai menyadari, pentingnya menjaga kesehatan mental. Jadi, quiet quitting adalah satu strategi untuk mengatur skala prioritas, termasuk menghindari hal toksik sebanyak mungkin.

Ada penekanan lebih ke kualitas dibanding kuantitas. Salah satunya terlihat dari kecenderungan untuk menghindari lembur, apalagi jika sifatnya sukarela. Ada satu pandangan yang menyatakan, lembur (kecuali untuk keadaan darurat) adalah sebentuk ketidakefektifan.

Mungkin, lembur dahulu dipandang keren, tapi fenomena quiet quitting menunjukkan, ini adalah sebentuk ketidakefektifan, yang pada titik tertentu mengarah pada inkompetensi. 

Sekali lagi, ini soal penekanan pada kualitas ketimbang kuantitas. Inilah salah satu poin yang belakangan coba dikoreksi Generasi Z lewat aksi quiet quitting.

Bagi generasi senior, ini mungkin satu bentuk pemberontakan, tapi mereka juga perlu untuk mulai membuka ruang diskusi, supaya ada titik temu dan jalan tengah terbaik buat semua. Siapa tahu, suasana dan budaya kerja yang ada bisa lebih baik.

Di sisi lain, fenomena quiet quitting ini menunjukkan, cara protes di kalangan pekerja telah berkembang menjadi semakin canggih.

Dengan semakin cepat dan uniknya perkembangan dinamika yang ada, pihak manajemen dan perusahaan perlu lebih adaptif, supaya bisa tetap relevan. Karena, beda generasi, biasanya beda gaya dan pola pikir. Selebihnya, tinggal apakah ini bisa segera disadari atau tidak.

Kalau menghadapi Gen Z saja sudah kebingungan, bagaimana saat nanti bertemu generasi yang lebih muda?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun