Di saat harga kebutuhan terus naik tapi gaji bisa turun seenaknya, membudayakan sikap konsumtif seperti ini sama dengan bunuh diri, karena belum tentu akan ada yang akan menolong saat kesulitan, tapi sudah pasti akan ada yang menyalahkan.
Satu lagi, sebagai generasi yang melek informasi, mereka juga mulai menyadari, pentingnya menjaga kesehatan mental. Jadi, quiet quitting adalah satu strategi untuk mengatur skala prioritas, termasuk menghindari hal toksik sebanyak mungkin.
Ada penekanan lebih ke kualitas dibanding kuantitas. Salah satunya terlihat dari kecenderungan untuk menghindari lembur, apalagi jika sifatnya sukarela. Ada satu pandangan yang menyatakan, lembur (kecuali untuk keadaan darurat) adalah sebentuk ketidakefektifan.
Mungkin, lembur dahulu dipandang keren, tapi fenomena quiet quitting menunjukkan, ini adalah sebentuk ketidakefektifan, yang pada titik tertentu mengarah pada inkompetensi.Â
Sekali lagi, ini soal penekanan pada kualitas ketimbang kuantitas. Inilah salah satu poin yang belakangan coba dikoreksi Generasi Z lewat aksi quiet quitting.
Bagi generasi senior, ini mungkin satu bentuk pemberontakan, tapi mereka juga perlu untuk mulai membuka ruang diskusi, supaya ada titik temu dan jalan tengah terbaik buat semua. Siapa tahu, suasana dan budaya kerja yang ada bisa lebih baik.
Di sisi lain, fenomena quiet quitting ini menunjukkan, cara protes di kalangan pekerja telah berkembang menjadi semakin canggih.
Dengan semakin cepat dan uniknya perkembangan dinamika yang ada, pihak manajemen dan perusahaan perlu lebih adaptif, supaya bisa tetap relevan. Karena, beda generasi, biasanya beda gaya dan pola pikir. Selebihnya, tinggal apakah ini bisa segera disadari atau tidak.
Kalau menghadapi Gen Z saja sudah kebingungan, bagaimana saat nanti bertemu generasi yang lebih muda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H