Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kembalinya Sisi Keras Liga 1

30 Agustus 2022   14:33 Diperbarui: 30 Agustus 2022   14:37 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Robert Rene Alberts, Javier Roca, Jacksen Ferreira Tiago, dan Sergio Alexandre (Tribunnews.com)

Liga 1 musim 2022/2023 baru akan mendekati seperempat jalan, tapi sisi kerasnya sudah terlihat. Sisi keras itu adalah tekanan tinggi buat para pelatih di sejumlah klub, yang belakangan mulai menghadirkan perubahan.

Tak tanggung-tanggung, hingga pekan ketujuh di akhir pekan lalu, sudah ada lima pelatih yang hengkang, yakni Robert Rene Alberts (Persib Bandung, Belanda), Sergio Alexandre (PSIS Semarang, Brasil), Javier Roca (Persik Kediri, Chile), Dejan Antonic (Barito Putera, Serbia) dan Jacksen Ferreira Tiago (Persis Solo, Brasil).

Kelimanya hengkang menyusul performa tim yang kurang sesuai ekspektasi manajemen. Uniknya, dari kelima nama di atas, hanya Jacksen Ferreira Tiago saja yang mundur setelah timnya menang.

Hanya saja, nama-nama di atas masih berpeluang akan bertambah lagi, karena sudah ada pelatih yang mulai menimbang opsi mundur, atau didesak suporter untuk segera mundur, mereka adalah Seto Nurdiyantoro (PSS Sleman) dan Eduardo Almeida (Arema FC).

Di PSS Sleman, Seto Nurdiyantoro mulai melempar isyarat kemungkinan akan mundur, karena meski bermain cukup baik dan mampu meraih 8 poin, Super Elja menuai tiga kekalahan di kandang sendiri.

Sementara itu, desakan mundur cukup kencang disuarakan Aremania kepada Eduardo Almeida. Meski sukses meraih gelar Piala Presiden, awalan inkonsisten Singo Edan di Liga 1 membuat posisi pelatih asal Portugal itu kurang aman.

Dengan kompetisi yang masih jauh dari selesai, daftar nama pelatih yang hengkang atau dalam tekanan tentu masih akan bertambah.

Jangankan pelatih yang sedang bertugas, pelatih yang belum bertugas penuh seperti Luis Milla (Persib Bandung) saja sudah dikritik, saat Maung Bandung dibabat PSM Makassar 5-1, Senin (29/8) lalu. Sebuah situasi yang sangat aneh, meski sebenarnya tekanan (sangat) tinggi adalah hal biasa di Liga Indonesia.

Dejan Antonic (Kompas.com)
Dejan Antonic (Kompas.com)
Tapi, kalau dilihat lagi, sebenarnya tekanan tinggi ini justru tidak wajar. Kemenangan kadang dianggap harga mati,  terutama di laga kandang, selebihnya tidak penting. Hasil imbang saja bisa terasa seperti kekalahan.

Semua tim ingin menang dan punya target tinggi. Tapi, saat performa di lapangan berkata lain, pelatihlah yang jadi kambing hitam. Padahal, tidak sulit untuk mengenali kemampuan tim, dan memasang target realistis.

Memang, berganti pelatih adalah satu solusi logis, terutama kalau proses yang ada (seperti pada kasus Robert Rene Alberts di Persib sejak tiga tahun terakhir) justru macet bahkan berantakan progresnya.

Tapi, kalau pelatih itu belum lama bertugas, pergantian pelatih terlalu cepat justru akan membuat tim jadi tidak stabil. Ada pemain baru, perombakan materi pemain, adaptasi ulang, dan hal-hal lain yang butuh waktu untuk kembali disinkronkan.

Situasi bisa semakin rumit, andai harapan tinggi juga langsung dibebankan. Bukannya membaik, performa tim justru bisa memburuk akibat diusik harapan yang jadi beban.

Sebenarnya, fenomena pergantian pelatih secara massal di Liga Indonesia sudah terjadi sejak lama, akibat masih membudayanya orientasi instan. Tapi, jika ini terus dibiarkan, efeknya akan kurang baik, karena membuat suporter jadi terlalu mendewakan kemenangan.

Akibatnya, aksi anarkis oknum suporter,  terutama saat tim pujaannya gagal menang,  tampak masih sulit diberantas. Padahal, kalau manajemen klub mau berpikir realistis dan mengedukasi suporter untuk lebih realistis, seharusnya suasana bisa lebih sehat.

Ada persiapan ideal, adaptasi taktik, dan cukup ruang berkembang. Dari segi hasil, suporter akan lebih dewasa, karena bisa menerima hasil akhir pertandingan dengan baik, sekaligus menerapkan sikap sportif, yang memang menjadi satu nilai kunci dalam olahraga.

Idealnya begitu, meski kenyataan masih berkata lain. Orientasi instan inilah, yang juga membuat progres Timnas Indonesia masih cenderung stagnan, bahkan di level Asia Tenggara.

Selama orientasi instan masih hidup di sepak bola nasional, selama itu juga kualitasnya sulit meningkat. Selebihnya, tinggal apakah itu bisa disadari atau tidak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun