Memang, berganti pelatih adalah satu solusi logis, terutama kalau proses yang ada (seperti pada kasus Robert Rene Alberts di Persib sejak tiga tahun terakhir) justru macet bahkan berantakan progresnya.
Tapi, kalau pelatih itu belum lama bertugas, pergantian pelatih terlalu cepat justru akan membuat tim jadi tidak stabil. Ada pemain baru, perombakan materi pemain, adaptasi ulang, dan hal-hal lain yang butuh waktu untuk kembali disinkronkan.
Situasi bisa semakin rumit, andai harapan tinggi juga langsung dibebankan. Bukannya membaik, performa tim justru bisa memburuk akibat diusik harapan yang jadi beban.
Sebenarnya, fenomena pergantian pelatih secara massal di Liga Indonesia sudah terjadi sejak lama, akibat masih membudayanya orientasi instan. Tapi, jika ini terus dibiarkan, efeknya akan kurang baik, karena membuat suporter jadi terlalu mendewakan kemenangan.
Akibatnya, aksi anarkis oknum suporter, Â terutama saat tim pujaannya gagal menang, Â tampak masih sulit diberantas. Padahal, kalau manajemen klub mau berpikir realistis dan mengedukasi suporter untuk lebih realistis, seharusnya suasana bisa lebih sehat.
Ada persiapan ideal, adaptasi taktik, dan cukup ruang berkembang. Dari segi hasil, suporter akan lebih dewasa, karena bisa menerima hasil akhir pertandingan dengan baik, sekaligus menerapkan sikap sportif, yang memang menjadi satu nilai kunci dalam olahraga.
Idealnya begitu, meski kenyataan masih berkata lain. Orientasi instan inilah, yang juga membuat progres Timnas Indonesia masih cenderung stagnan, bahkan di level Asia Tenggara.
Selama orientasi instan masih hidup di sepak bola nasional, selama itu juga kualitasnya sulit meningkat. Selebihnya, tinggal apakah itu bisa disadari atau tidak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H