Di era digital ini, smartphone alias ponsel pintar menjadi satu bagian yang memegang peranan penting dalam kehidupan sehari-hari, selain koneksi internet yang lancar.
Berkat fleksibilitas teknologinya, perangkat satu ini tidak hanya menjadi alat komunikasi, karena sudah mewadahi beragam platform, mulai dari belanja, bekerja, transportasi, informasi berita, sampai hiburan.
Fleksibilitas ini memang membuat keberadaan ponsel pintar jadi menyenangkan. Tapi, perkembangan teknologi yang cepat membuat keberadaannya jadi cukup mendebarkan.
Dalam artian, ada saat dimana kita harus membeli ponsel pintar baru, karena sistem operasinya sudah mulai usang, atau mulai tidak kompatibel dengan perkembangan terkini.
Saya sendiri pertama kali mendapat ponsel pintar tak lama setelah lulus kuliah, sekitar tujuh tahun silam. Ponsel itu bukan ponsel baru, tapi bekas, dengan baterai yang sudah bengkak.
Kondisinya serba tidak ideal: memori minimalis, generasi sistem operasi Android nya agak senior, sempat beberapa kali ganti baterai, dan kadang error dengan sendirinya. Untunglah, dia masih bisa bertahan sampai tiga tahun kemudian, sebelum akhirnya mati total, dan laku dijual dengan harga selembar uang merah.
Ketika ponsel pintar berikutnya datang tak lama setelah Piala Dunia 2018, kondisinya bisa dibilang jauh lebih baik: masih baru (begitu juga dengan sistem operasinya), ukuran memori lebih besar, dan bisa membantu dalam banyak hal, termasuk membuat tulisan yang sedang Anda baca sekarang. Tulisan yang (mungkin) akan jadi tulisan terakhir yang saya buat dengan ponsel lawas ini.
Bisa dibilang, selama masa tugasnya, ponsel ini adalah "senjata" yang cukup oke, karena kondisinya relatif terjaga. Sebenarnya, dia masih bisa bertahan lebih lama.
Tapi perkembangan sistem operasi yang begitu cepat, ditambah cerita mengenaskan pada ponsel pintar sebelumnya, akhirnya membuat saya memutuskan untuk menggantinya dengan yang baru, sekalian upgrade. Kebetulan, sedang ada rezeki.
Di satu sisi, mungkin ini kurang mengenakkan. Setelah empat tahun yang relatif baik-baik saja, tiba-tiba harus berpisah.
Mereka yang sangat pelit mungkin akan bilang ini pemborosan. Tapi, orang kadang lupa menyadari, cepatnya pembaruan teknologi pada sistem operasi ponsel pintar punya satu sisi negatif, yakni masa edar (ideal) yang relatif pendek, dan harga yang terjun bebas.
Sekali berakhir jadi rongsokan, habislah sudah. Andai masih ada yang mau beli, kita hanya bisa bersyukur.
Salah satu penyebabnya, update aplikasi rutin ternyata memakan cukup banyak memori. Ada sedikit demi sedikit penambahan ukuran aplikasi, yang jika diakumulasi dalam waktu lama, akan membuat ukurannya bertambah cukup banyak.
Akibatnya, sisa memori internal dalam ponsel pintar akan semakin sedikit. Jika dibiarkan saja, ini akan mengganggu kinerja ponsel. Jadi, perlu ada upgrade, tanpa harus menunggu mati total.
Perpisahan memang jadi satu kepastian. Maka, sebelum akhirnya harus berpisah, pilihannya tinggal apakah perpisahan itu baik-baik atau tidak.
Dalam kasus saya, saya memilih berpisah saat kondisinya masih baik-baik saja, dengan harga jual yang masih layak, untuk jenis dan ukuran memorinya.
Patokannya sederhana, jika generasi sistem operasi ponsel kita lebih tua empat generasi di atas generasi terbaru, itu adalah waktu ideal berganti ponsel. Kecuali, jika ponsel kita mendapatkan jatah update otomatis sistem operasi sebanyak 2-4 generasi, karena kelebihan itu bisa membantu masa edar ponsel jadi lebih lama.
Penyebabnya, setelah tahun kelima atau masuk tahun keenam, perangkat dengan sistem operasi generasi senior kadang kurang kompatibel untuk update aplikasi di Google Playstore atau platform sejenis.
Jujur saja, belajar dari pengalaman saya dulu, jika ponsel lama dijual dalam kondisi mati total atau sistem operasinya sudah tidak kompatibel sama sekali, rasanya tidak mengenakan, karena ada sedikit rasa bersalah.
Dulu, bisa menggunakan barang elektronik, termasuk gadget, sampai jadi rongsokan mungkin akan jadi satu kebanggaan tersendiri. Tapi, dengan semakin cepatnya perkembangan teknologi, pandangan ini bisa jadi semakin tidak relevan.
Menariknya, dari pengalaman ini, saya justru diajak untuk belajar, bisa mengakhiri dalam kondisi masih baik ternyata jauh lebih melegakan, daripada berakhir dalam kondisi sudah tidak bisa diapa-apakan lagi. Karena, apa yang dimulai baik-baik bisa selesai juga secara baik-baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H