Selain pemain asal Portugal itu, mereka juga punya dua senjata rahasia dari Papua, yakni Boaz Solossa dan Todd Rivaldo Ferre, yang masing-masing punya pengalaman dan kecepatan mumpuni.
Duet beda generasi ini kerap dimainkan sebagai pemain pengganti, dengan harapan bisa menambah daya gedor. Ada juga Tallysson Duarte, bek tengah yang sudah mencetak sepasang gol.
Tapi, di luar kelebihan yang sudah ada, PSS Sleman masih tampak kedodoran di akhir babak, dan agak lambat panas di awal. Kedua masalah ini membuat lini belakang mereka rawan dibobol, meski daya serang mereka lumayan bagus.
Tentu saja, masalah daya tahan ini masih wajar, karena masih jadi masalah umum di Indonesia. Masih ada waktu untuk diperbaiki dan disempurnakan.
Tapi, karena intensitas permainannya tergolong tinggi, dan jadwal kompetisinya cukup padat, rotasi pemain dan variasi taktik perlu rutin dimainkan.
Supaya, tim tidak kedodoran dan kehabisan bensin terlalu cepat, karena diterpa masalah cedera pemain akibat kelelahan. Masih ada 31 pertandingan liga plus ajang Piala Indonesia yang harus dijalani.
Soal variasi taktik, salah satu yang bisa mulai coba dilakukan adalah mengubah formasi starter dan pola pergantian pemain, tergantung lawannya. Strategi pergantian yang ada sekarang sudah cukup bagus, tapi perlu ada variasi, supaya tidak mudah diantisipasi lawan.
Variasi ini bisa menghadirkan efek kejut, yang seharusnya bisa berdampak positif, seperti halnya kehadiran "supersub" dari bangku cadangan.
Terlepas dari kekurangan yang ada, sajian "Pressing Football" ala PSS Sleman ini layak diapresiasi, karena mampu menghadirkan dimensi taktik modern di sepak bola nasional.
Meski lambat, proses yang sudah berjalan mulai menampakkan progres positif, yang tentu saja akan membuat grafik performa Tim Super Elang Jawa meningkat.
Dengan target manajemen klub yang cukup realistis, yakni finis di posisi sepuluh besar ada ruang lebih untuk tim bisa berkembang, karena tekanan yang ada masih dalam batas wajar.