Hebatnya, performa bagus mereka juga menular di tingkat Asia, dengan menjadi tim Indonesia yang paling sering lolos ke babak gugur di Piala AFC.
Selama periode ini, Tim Mutiara Hitam sebenarnya punya materi pemain cukup bagus, dengan kerangka tim relatif sama. Sayang, ketika kerangka ini dibongkar total, performa tim perlahan menurun, sebelum akhirnya terdegradasi akhir musim lalu.
Di satu sisi, ini memang membuat kompetisi jadi tidak monoton. Ada beragam kejutan yang biasa hadir, sehingga membuatnya sulit ditebak.
Terlepas dari isu pengaturan skor yang sesekali muncul di sepak bola nasional, sisi dinamis yang ada memang selalu menarik untuk disimak.
Masalahnya, tidak ada konsistensi yang reliabel di sini, dan itu mempengaruhi juga performa klub Indonesia di level Asia. Akibatnya, grafik performa klub Indonesia cenderung menurun.
Ini membuat grafik peringkat Liga Indonesia cenderung menurun, sehingga kesempatan unjuk gigi klub nasional pun mengalami penurunan level juga.Â
Dari yang tadinya bisa tampil di fase grup Liga Champions Asia, menjadi hanya bisa tampil di kualifikasi, sebelum akhirnya hanya bisa tampil di Piala AFC.
Apa boleh buat, level peringkat Liga Indonesia pun jadi kurang bagus akhir-akhir ini, Â kalau tidak boleh dibilang jelek. Tidak adanya reliabilitas karena belum adanya orientasi jangka panjang, membuat progresi level sepak bola nasional cenderung lambat.
Karenanya, pelaku sepak bola nasional perlu mulai berorientasi pada proses dan progres. Supaya, kualitas klub yang tampil di Asia bisa lebih reliabel dan peringkat liga juga membaik.
Turnover atau perombakan memang satu hal pasti dalam sepak bola. Tapi, berhubung sifatnya drastis, ini tidak boleh terlalu sering dilakukan dalam waktu dekat.
Bukannya memperbaiki, perubahan seperti ini justru bisa merusak, karena tidak ada sistem yang dibangun dan dikembangkan dalam jangka panjang.