Akibatnya, saat daya beli masyarakat turun, produk ramah lingkungan langsung kena pukulan berat. Banyak perusahaan yang kemudian beralih mengimpor produk serupa dari luar negeri (terutama negara-negara yang punya industri berskala produksi massal) dan mengemas ulang produk.
Pertimbangannya simpel, biaya produksi lebih murah, dan bisa lebih cepat mendapat pasokan barang dalam jumlah besar.
Untuk jangka pendek, ini bisa jadi langkah darurat efektif, tapi berbahaya untuk jangka panjang. Tidak ada keberlanjutan, seperti apa yang ingin diwujudkan lewat produk mereka.
Akibatnya, produsen dari dalam negeri bisa gulung tikar, padahal mereka adalah satu industri padat karya, yang mampu menyerap banyak tenaga kerja.
Maka, seiring adanya perhatian pada sektor ini, salah satunya melalui investasi hijau, pemerintah dan seluruh pihak terkait perlu mulai membumikan produk ramah lingkungan.
Kuncinya, ada upaya nyata untuk membangun kolaborasi antara perusahaan dengan produsen. Semakin padu, semakin bagus, karena manfaat ekonomi dan sosialnya akan melengkapi manfaat untuk lingkungan yang ingin coba dimaksimalkan.
Soal harga yang kurang kompetitif, masalah ini bisa diakali, dengan mendorong tumbuhnya skala produksi massal. Nantinya, para produsen ini bisa digandeng sebagai pemasok bahan mentah atau setengah jadi.
Semakin besar skala produksinya, semakin banyak tenaga kerja yang terserap. Ini akan membuat pemulihan ekonomi nasional bisa berjalan lancar.
Kalau harganya sudah terjangkau, masyarakat pasti tidak akan ragu untuk membeli. Keterjangkauan harga ini menjadi penting, karena masyarakat cenderung semakin selektif dalam berbelanja. Ini belum termasuk para pelaku UMKM seperti pengusaha warteg, warung makan dan sebangsanya.
Sekalipun iming-imingnya bisa untuk membantu menyelamatkan bumi seperti yang biasa dilakukan para superhero, percuma kalau harganya tidak membumi, dan justru membuat dompet menangis histeris.
Soal familiaritas produk, pemerintah dan pihak terkait bisa juga membangun identitas khas. Misalnya "karya anak bangsa" atau memanfaatkan momentum event G20 di Indonesia.