Ternyata tidak. Penyebabnya, kekuatan aktual Aston Villa dan Nottingham Forest sangat berbeda dengan masa jayanya dulu. Mereka bahkan sempat naik turun kasta. Forest saja baru promosi tahun 2022, setelah terakhir tampil di kasta tertinggi tahun 1999.
Untuk tiga klub yang disebut pertama, mereka memang sempat mengalami pasang surut, tapi mampu menjaga eksistensi di kasta tertinggi, sehingga tetap punya basis penggemar luas.
Situasinya kurang lebih sama dengan trio juara Liga Champions dari Bundesliga, yakni Bayern Munich (6 kali juara), Borussia Dortmund (1), dan Hamburg SV (1).
Meski sama-sama populer di negaranya, situasi aktualnya sedang timpang. Bayern dan Dortmund masih rutin menggelar Der Klassiker di kasta tertinggi, tapi Hamburg SV masih tersesat di kasta kedua.
Itu baru diantara klub-klub mantan juara Liga Champions, belum termasuk klub-klub mantan juara liga yang jumlahnya lebih banyak lagi.
Tentunya, akan kurang pas jika situasi di masa lalu dipasangkan begitu saja dengan situasi saat ini. Satu atau dua dekade berlalu, situasi sudah sangat berbeda.
Tanpa perlu diberi embel-embel berlebihan pun, setiap pertandingan sepak bola pada dasarnya sudah punya daya tarik alaminya sendiri. Lagipula, "big match" adalah soal kualitas, bukan kuantitas. Terlalu banyak label "big match" justru membuat kompetisi terlihat membosankan.
Tinggal bagaimana itu dimaksimalkan secara natural, supaya pertandingan yang berlangsung bisa berjalan menarik, penuh aksi berkualitas, dan tanpa bumbu insiden baku hantam.
Jika daya tarik itu tidak ditemukan, tapi justru diganti dengan daya tarik yang terkesan dibuat-buat atau dipaksakan, kita patut menduga, mungkin ada yang salah di sana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H