Sebagai negara pemegang Presidensi G20 tahun 2022, Indonesia mengusung tema global "Recover Together, Recover Stronger". Dalam skala nasional, tema ini juga dipakai dalam program pemulihan ekonomi nasional, dengan Bank Indonesia sebagai salah satu lembaga pelaksananya.
Salah satu sasaran utama dari program ini adalah kelompok masyarakat yang tergolong rentan, yakni wanita, kaum muda, dan penyandang disabilitas.
Dari ketiganya, penyandang disabilitas punya posisi paling rumit, karena ada masalah "mindset" yang membudaya. Ini lebih pelik dari kaum wanita atau kaum muda, yang sudah mulai banyak mendapat kesempatan, bahkan kesetaraan.
Salah satu masalah umum paling mencolok adalah masih adanya pandangan soal "belas kasihan" untuk penyandang disabilitas.
Sebenarnya, maksud pandangan ini baik, karena bisa memberi ruang kepada penyandang disabilitas untuk mendapat perlakuan layak. Makanya, ada banyak kegiatan amal, magang atau pelatihan jangka pendek bermunculan.
Ini memang bagus untuk jangka pendek, tapi kurang bagus untuk jangka panjang. Penyebabnya, ini rentan membuat penyandang disabilitas jadi pasif, karena hanya dibiasakan "menunggu untuk menerima".
Padahal, mereka bisa lebih proaktif, jika ada ruang untuk itu. Hanya saja, ruang yang ada masih sangat terbatas, karena mindset yang ada masih cenderung mengarah ke "belas kasihan".
Seharusnya, pendekatan proaktif bisa mulai dibiasakan. Dengan catatan, dasar cara pandang yang digunakan adalah "belas kasih", bukan "belas kasihan" semata
Sebagai seorang penyandang disabilitas, saya berterima kasih pada mereka yang menaruh belas kasihan. Itu cukup membantu untuk jangka pendek, tapi kalau berlebihan, rasanya kurang mengenakkan untuk jangka panjang.
Pada titik tertentu, belas kasihan berlebih justru akan mengikis rasa aman. Suka atau tidak, harus disadari juga kalau kecemburuan terhadap penerima "perlakuan khusus" ini tetap ada.
Jujur saja, diperlakukan tanpa belas kasihan dan "dicemburui" karena mendapat belas kasihan berlebihan itu sama-sama tidak enak. Kadang, ada perasaan tidak berdaya yang kurang mengenakkan.
Di sisi lain, belas kasihan berlebih juga bisa menghadirkan satu kerawanan lain, yakni kecenderungan untuk bersikap seenaknya, atau mendapat cap tidak enak dari lingkungan sekitar.
Di sini, rasa belas kasihan bisa mendatangkan dilema. Digunakan bisa bikin keterusan, tapi jika tidak digunakan bisa membuat kita dicap "ngelunjak" atau sombong.
Akibatnya, cap buruklah yang akan diterima si penyandang disabilitas. Situasi akan lebih rumit, jika satu kasus ini lalu dijadikan alat generalisasi.
Berangkat dari situlah, akan lebih baik jika cara pandang "belas kasihan" diubah menjadi "belas kasih". Dalam artian, si penyandang disabilitas boleh jadi diri sendiri.
Jadi, mereka bisa menemukan potensi terpendam, dan berkembang di sana. Dari sinilah, kelebihannya bisa menjadi penyeimbang sempurna buat kekurangannya.
Satu lagi, dalam menyemangati, tak perlu lagi ada kata-kata ala motivator, atau perbandingan "apple to apple" dengan penyandang disabilitas lain yang sudah sukses. Cara ini sudah terlalu kuno, dan bisa menjadi toksik, karena tidak membebaskan mereka jadi diri sendiri.
Lewat "belas kasih", akan ada kesetaraan yang membuat mereka bisa hidup layak secara ekonomi, sehingga mereka bisa lebih mandiri, bahkan menjadi satu potensi lain untuk lebih diberdayakan dalam jangka panjang.
Secara psikologis, ini bisa menumbuhkan kepercayaan diri dan semangat, karena mereka boleh berkembang dan menemukan perasaan "utuh" sebagai seorang manusia. Inilah satu kebutuhan psikologis penyandang disabilitas, yang kadang justru luput dari perhatian.
Jadi, jika memang ingin menjalankan ekonomi inklusif untuk penyandang disabilitas secara kontinyu, harus ada "mindset" yang perlu diubah. Bukan lagi "belas kasihan" yang memanjakan, tapi "belas kasih" yang mendidik dan memberdayakan.
Di balik kekurangannya, penyandang disabilitas juga manusia yang ingin hidup mandiri selayaknya manusia pada umumnya.
Mereka punya kemampuan yang bisa dipoles, dan hanya perlu diberi ruang untuk berkembang, sama seperti yang lain. Soal kekurangan, seharusnya itu bisa disiasati, karena penyandang disabilitas sudah dibiasakan oleh keadaan, untuk menyiasati kekurangan akibat disabilitas mereka.Â
Selebihnya, tinggal seberapa serius dan seberapa jauh ekonomi inklusif ini akan berjalan, khususnya setelah masa Presidensi G20 Indonesia berakhir nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H