Dalam menulis, selain menggali dan mengolah informasi, kadang kita perlu mendengarkan opini orang lain. Selain untuk memperkaya sudut pandang, juga untuk membantu kita lebih berkembang.
Tapi, ada kalanya itu tak perlu dituruti. Khususnya, jika berkaitan dengan rasa nyaman kita dalam menulis. Misalnya, soal gaya menulis, topik atau frekuensi menulis kita.
Karena sifatnya yang personal, hal seperti ini jelas tak bisa didikte, apalagi dipaksakan. Kecuali, kalau sudah jadi instruksi dalam porsi menulis sebagai pekerjaan.
Di luar itu, karena sifatnya sebagai sebuah proses panjang, menulis tidak bisa direcoki dengan enaknya. Proses panjang di sini berkaitan dengan bagaimana seseorang mengolah rasa menjadi rangkaian kata, dan sudut pandang apa yang sedang coba dihadirkan.
Pada awalnya, ada hambatan di sana-sini, mood swing, rasa minder, dan sebagainya. Semua itu jadi bagian dari proses belajar.
Pada saat fase awal ini terlewati, menjadi diri sendiri adalah hadiah paling menyenangkan. Kita bisa bebas menulis, dan secara sadar mau bertanggung jawab atas apa yang ditulis.
Ada kegembiraan, rasa nyaman, dan tanggung jawab. Kalaupun ada yang menghambat, sifatnya memang sangat mendesak, jadi masih bisa diterima.
Di sini, dua hal yang perlu diperhatikan tinggal "sebagai siapa" kita menulis, dan bagaimana kita memfilter saran-saran atau suara-suara yang masuk.
Selama kita masih bebas menulis sebagai diri sendiri, bukan ego sendiri, dan bisa melihat baik-buruk saran yang masuk, kita hanya perlu membiarkan waktu menuntun, lewat semua proses yang dijalani, karena itu akan mempertemukan kita dengan progres.
Soal saran yang masuk, kita juga perlu memperhatikan, apakah itu layak dijalankan atau tidak. Misalnya, soal frekuensi menulis harian.
Tidak semua orang bisa menulis lebih dari satu artikel setiap hari. Kalau ada saran untuk mulai menulis 2-3 artikel sehari, kita perlu melihat, diri kita sudah mampu melakukannya secara konsisten atau belum, dimulai dari satu artikel sehari.
Kalau sudah, tinggal kita lihat kita siap atau belum. Kalau siap, jangan lupa untuk mengukur sampai dimana batasnya, supaya saat rasa jenuh karena kehabisan ide datang, kita masih bisa lanjut, seperti air mengalir, tidak berhenti total.
Karena berproses jadi kunci, maka penting untuk menjaga kontinuitas, karena inilah yang membuat kemampuan menulis terus terasah tajam.
Soal jumlah tulisannya, kita hanya perlu fokus pada diri sendiri. Tidak perlu selalu harus mengikuti ritme orang lain, cukup jadi diri sendiri, sekalipun beda sudut pandang.
Dengan begitu, sudut pandang yang dihadirkan bisa lebih kaya, sekalipun topiknya sama. Inilah yang paling dibutuhkan pembaca, sehingga mereka dapat menemukan gambaran utuh.
Pada akhirnya, karena menulis adalah satu proses yang melibatkan kita dan diri kita sendiri, ada baiknya kita mulai menemukan dan mengenal siapa diri kita.
Bukan berarti anti kritik dan saran, tapi supaya kita tidak terombang-ambing dengan "kata orang". Ini menjadi semakin relevan, karena di era kekinian ada begitu banyak informasi beredar dengan cepat.
Jika terus terombang-ambing dan akhirnya justru kandas, mereka yang terus saja mengombang-ambing dan merecoki belum tentu akan menolong, bahkan ada yang mempersalahkan, karena dianggap tak mau menerima masukan.Â
Akibatnya, kita tak akan pernah mencapai satu tujuan utama menulis, yakni "menemukan diri".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H