Kemenangan 2-1 Timnas Indonesia atas Kuwait, Rabu (8/6) lalu menghadirkan banyak cerita. Ada yang mengupas dari berbagai sisi, bahkan ada yang sampai melebih-lebihkan.
Maklum, selain karena kemenangan ini diraih di kandang lawan, ini menjadi kemenangan pertama atas Kuwait sejak tahun 1980. Berkat kemenangan ini juga, peluang Timnas Indonesia untuk lolos dari Kualifikasi Piala Asia 2023 menjadi lebih terbuka.
Secara matematis, jika mampu menang atas Jordania atau Nepal di pertandingan berikutnya, tim asuhan Shin Tae-yong berpeluang tampil di putaran final Piala Asia 2023.
Tapi, di balik riuh rendah pemberitaan yang ada, PSSI menjadi satu pihak yang sikapnya sangat membagongkan, karena berani melawan arus.
Tanpa malu-malu, induk sepak bola nasional ini mengklaim, kemenangan Tim Garuda adalah berkat jasa Iwan Bule, sang ketua umum. Melalui laman resminya, mereka menyebut apa saja peran dan prestasi sang ketua umum, layaknya sedang kampanye pemilu.
Padahal, biasanya mereka hanya membonceng harapan publik, dan biasa menyalahkan pelatih, setiap kali Timnas Indonesia tampil jeblok. Mereka selalu menghilang paling duluan dalam situasi buruk, tapi biasa jadi pahlawan kesiangan saat situasi baik.
Tentu saja, sikap PSSI ini mengundang banyak kritik dari berbagai pihak. Saya sendiri mempersoalkan ini, karena mereka berkoar-koar terlalu cepat, seolah sudah pasti lolos ke Piala Asia 2023.
Memang, Pratama Arhan cs mampu membalikkan semua keraguan dengan mental baja di lapangan. Tapi, mereka masih perlu dibiarkan fokus, karena kemenangan atas Kuwait belum menjamin apapun.
Bukan berarti menafikan peran PSSI, tapi PSSI juga perlu menahan diri. Jangan sampai lupa daratan karena terlalu larut dalam euforia.
Di sisi lain, sikap "overclaim" ini juga jadi satu fenomena miris menurut saya, karena seperti sudah jadi kebiasaan. Sebelumnya, di Piala AFF 2020 lalu, sang Ketum PSSI juga sempat merayakan hasil imbang tanpa gol melawan Vietnam, layaknya sebuah kemenangan.
Baru menahan imbang Vietnam dan mengalahkan Kuwait saja sudah euforia. Apa jadinya kalau yang ditahan imbang bahkan dikalahkan, adalah tim sekelas Jepang, Iran atau Arab Saudi? Menggelikan!
Padahal, kalau PSSI masih punya urat malu, seharusnya mereka mengapresiasi kinerja pelatih Shin Tae-yong. Karena, dengan kondisi serba seadanya, pelatih asal Korea Selatan itu tetap mampu membuat tim tampil baik.
Lebih jauh, mereka seharusnya malu, karena sebelum ini sempat berencana mengevaluasi posisi Shin Tae-yong. Keraguan yang langsung dibayar tunai sang pelatih, dengan kemenangan atas Kuwait.
Dengan tingkah PSSI yang begini, kita justru diajak untuk melihat langsung, seberapa parah masalah di sepak bola nasional, termasuk dalam hal masalah mental.
Terlalu cepat puas pada satu kemenangan ternyata masih jadi satu hambatan untuk berkembang. Akibatnya, di saat negara lain pelan-pelan maju, Timnas Indonesia justru baru menyadari saat sudah semakin tertinggal.
Jujur saja, kalau PSSI memang "gentle", andai Timnas Indonesia benar-benar tampil di Piala Asia 2023, mereka seharusnya memperpanjang kontrak Shin Tae-yong, apapun hasil Tim Merah-Putih di turnamen ini. Satu hal yang perlu diperhatikan, level Piala Asia lebih tinggi dari Piala AFF yang biasa diikuti Indonesia secara rutin.
Maklum, eks pelatih Timnas Korea Selatan itu sudah berjasa membawa Indonesia tampil di turnamen tingkat benua, untuk pertama kalinya sejak edisi 2007, saat menjadi tuan rumah bersama Malaysia, Thailand dan Vietnam.
Lebih jauh, Indonesia terakhir kali lolos ke Piala Asia lewat jalur kualifikasi pada edisi 2004 alias 18 tahun silam. Sebuah rentang waktu yang cukup untuk membuat seorang bayi baru lahir mempunyai KTP dan SIM.
Boleh dibilang, bersama Shin Tae-yong, ada progres nyata dari proses yang selama ini sudah berjalan. Lolos ke Piala Asia 2023 saja sudah menjadi satu buah prestasi yang cukup baik, di tengah silang sengkarut sepak bola nasional.
Jika ini mampu disadari PSSI, seharusnya mereka bisa berbuat lebih, untuk meningkatkan apa yang sudah dicapai sejauh ini. Kuncinya, cukup biarkan pelatih leluasa bertugas.
Jangan lupa, Shin Tae-yong berbeda dengan pelatih Timnas Indonesia sebelumnya, karena dia sudah punya pengalaman tampil di Piala Dunia, baik sebagai pemain maupun pelatih Timnas Korea Selatan.
Sebenarnya, sikap "overclaim" PSSI ini bukan kejutan, karena memang sudah jadi satu hal membudaya di berbagai instansi Indonesia: saat ada prestasi, semua berlomba-lomba mengakui, tapi saat terpuruk, semua berlomba-lomba pergi paling cepat.
Tapi, jika kebiasaan ini ternyata masih saja diteruskan, kita patut bertanya. Jangan-jangan kapasitas mental Timnas Indonesia memang sudah di-set cukup sampai level ini saja.
Andai ini benar, mungkin PSSI perlu segera diinstal ulang, karena mereka bukan cuma bermasalah dalam hal tata kelola, tapi juga dalam hal mental dan budaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H