Sepintas, judul di atas mungkin terdengar agak membingungkan, karena mirip judul lagu. Tapi, jika merujuk pada fenomena yang terjadi, kata "Rapsodi" memang pas, untuk mendeskripsikan secara sederhana, seperti apa sebenarnya terlihat tentang Non Fungible Token (NFT).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Rapsodi sendiri didefinisikan sebagai "pernyataan kegembiraan (sanjungan) yang berlebihan (dalam puisi, pembicaraan, dan sebagainya); atau lagu yang merupakan jalinan lagu-lagu (musik) yang telah ada".
Jika dikaitkan dengan posisi NFT yang sempat populer tahun 2021, tapi surut belakangan ini, NFT, dalam posisinya, telah menjadi satu "pernyataan kegembiraan yang berlebihan".
Maklum, di masa jayanya, NFT telah menghadirkan "wow effect" yang langsung membuatnya populer, bahkan mampu membuat orang kaya mendadak.
Salah satunya, saat Ghozali mendadak jadi milyarder, karena ratusan foto selfie-nya laku dijual dengan harga miliaran rupiah.
Tak heran, Ditjen pajak sampai mencolek pria bernama tenar Ghozali Everyday itu di media sosial, dan mulai memandang jenis aset kripto ini sebagai potensi menarik.
Masalahnya, karena sangat bergantung pada "wow effect", tingkat ketidakpastiannya menjadi lebih rumit, bahkan lebih rumit dari saham perusahaan kelas gurem sekalipun.
Maklum, tidak ada variabel yang jelas, untuk dijadikan tolok ukur, karena NFT bukan instrumen pembayaran legal, aset logam mulia atau saham.
Posisinya kurang lebih mirip seperti algoritma di mesin pencari dan nilai adsense sebuah konten: bisa sangat tinggi, bisa juga tenggelam di dasar palung. Sulit diprediksi.
Bedanya, dalam posisinya sebagai sebuah "token", NFT punya satu kesamaan dengan token kripto: nilainya bisa naik sangat drastis jika ada yang pintar menggoreng.
Selagi masih hangat, harganya pasti mahal. Tapi, sekali gorengan itu diangkat dari penggorengan, harganya akan cepat turun, bahkan sampai jadi tidak punya harga sama sekali.
Fenomena sejenis juga belum lama hadir, saat token-token kripto buatan pesohor booming di awal. Berkat digoreng, harganya sempat tinggi, dan diserbu konsumen.
Tapi, harganya langsung terjun bebas tak lama setelah selesai digoreng. Akibatnya, banyak yang rugi bandar, akibat tergiur gorengan yang ternyata langsung melempem segera setelah disajikan.
Orang-orang yang punya insting spekulasi tinggi mungkin akan menyerok NFT, menyimpan, dan menjualnya saat harganya kembali naik, entah kapan.
Masalahnya, karena variabel ketidakpastian di sini terlalu besar, menyimpan aset token bukan sesuatu yang bisa dilakukan dengan enaknya.
Kecuali, kalau ada dana cadangan sangat besar, atau ini memang sebuah hobi. Rugi tanggung sendiri.
Dalam kasus hobi, ini pernah terjadi, saat tanaman musiman seperti gelombang cinta dan janda bolong sempat booming di Indonesia beberapa tahun lalu.
Pada masa jayanya, dua tanaman ini bisa berharga sampai jutaan rupiah. Tapi, begitu tren ini surut, harganya langsung turun drastis.
Setelahnya, tidak ada yang menyerok kedua jenis tanaman ini. Harganya pun tak pernah kembali meroket "to the moon", karena tidak ada lagi yang bisa digoreng seperti dulu. Hal yang sama juga ada pada NFT.
Praktis, satu-satunya hal yang bisa diharapkan dari NFT adalah, jika NFT berposisi sebagai sebuah karya seni. Harga yang dipasang bisa relatif tinggi, karena sebuah karya seni tetap punya sisi estetika yang (seharusnya) bisa bernilai tinggi.
Dalam banyak kasus, kita banyak menemui, karya seni bisa berharga sangat mahal, terutama jika penciptanya sudah terkenal. Hal yang sama bisa saja terjadi pada NFT di platform digital.
Tapi, unsur spekulatifnya cukup tinggi, karena sebuah karya di platform digital rawan dibajak atau diplagiat lewat aplikasi.
Berspekulasi memang tidak dilarang. Tapi, di tengah situasi yang saat ini masih serba tidak pasti, berspekulasi pada hal yang sangat tidak pasti jelas tidak disarankan.
Sekalipun nanti kembali hadir sebagai tren, tetap perlu ada hal yang diperhatikan. Salah satunya, tentang bagaimana memahami manajemen risiko dari NFT.
Ini penting, supaya isi kantong tidak sampai amblas karena terlalu impulsif, dan kerugian yang didapat tidak parah, khususnya saat tren ini selesai digoreng.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H