Selagi masih hangat, harganya pasti mahal. Tapi, sekali gorengan itu diangkat dari penggorengan, harganya akan cepat turun, bahkan sampai jadi tidak punya harga sama sekali.
Fenomena sejenis juga belum lama hadir, saat token-token kripto buatan pesohor booming di awal. Berkat digoreng, harganya sempat tinggi, dan diserbu konsumen.
Tapi, harganya langsung terjun bebas tak lama setelah selesai digoreng. Akibatnya, banyak yang rugi bandar, akibat tergiur gorengan yang ternyata langsung melempem segera setelah disajikan.
Orang-orang yang punya insting spekulasi tinggi mungkin akan menyerok NFT, menyimpan, dan menjualnya saat harganya kembali naik, entah kapan.
Masalahnya, karena variabel ketidakpastian di sini terlalu besar, menyimpan aset token bukan sesuatu yang bisa dilakukan dengan enaknya.
Kecuali, kalau ada dana cadangan sangat besar, atau ini memang sebuah hobi. Rugi tanggung sendiri.
Dalam kasus hobi, ini pernah terjadi, saat tanaman musiman seperti gelombang cinta dan janda bolong sempat booming di Indonesia beberapa tahun lalu.
Pada masa jayanya, dua tanaman ini bisa berharga sampai jutaan rupiah. Tapi, begitu tren ini surut, harganya langsung turun drastis.
Setelahnya, tidak ada yang menyerok kedua jenis tanaman ini. Harganya pun tak pernah kembali meroket "to the moon", karena tidak ada lagi yang bisa digoreng seperti dulu. Hal yang sama juga ada pada NFT.
Praktis, satu-satunya hal yang bisa diharapkan dari NFT adalah, jika NFT berposisi sebagai sebuah karya seni. Harga yang dipasang bisa relatif tinggi, karena sebuah karya seni tetap punya sisi estetika yang (seharusnya) bisa bernilai tinggi.
Dalam banyak kasus, kita banyak menemui, karya seni bisa berharga sangat mahal, terutama jika penciptanya sudah terkenal. Hal yang sama bisa saja terjadi pada NFT di platform digital.