Di Liga Inggris, setiap klub biasanya rutin mengadakan acara penghargaan "Player of The Season". Acara ini berformat "gala dinner" seperti halnya Ballon D'Or, tapi bersifat internal.
Biasanya, penghargaan ini rutin diadakan tiap akhir musim, untuk mengapresiasi kinerja pemain tim senior dan junior selama musim kompetisi berjalan. Di klub dengan basis penggemar luas, acara ini biasa disiarkan langsung di stasiun televisi atau platform media resmi milik klub.
Tapi, satu pemandangan tak biasa hadir di Manchester United. Untuk pertama kalinya, acara rutin ini tidak diadakan dan disiarkan.
Alasannya, performa tim musim ini terlalu jeblok, dan memicu kemarahan penggemar. Saking marahnya, banyak yang meminta penghargaan edisi tahun ini ditiadakan.
Memang, meski berbelanja pemain sampai lebih dari 100 juta pounds, termasuk memulangkan Cristiano Ronaldo, performa tim ini memang amburadul, baik secara individu maupun tim.
Saking kacaunya, sebagian Manchunian sampai bedol desa meninggalkan Stadion Old Trafford setengah jam sebelum laga selesai, saat tim kesayangan mereka digasak Liverpool 0-5.
Bukan cuma itu, tim sekelas Watford saja, yang musim ini terdegradasi, bisa menang 4-1, dalam laga yang membuat Ole Gunnar Solskjaer akhirnya dipecat.
Manajemen Setan Merah sendiri langsung bergerak, dengan mendatangkan Ralf Rangnick. Pelatih asal Jerman itu, konon katanya, adalah penemu gegenpressing, sekaligus mentor Juergen Klopp dan Thomas Tuchel, dua pelatih juara Liga Champions asal Jerman.
Tapi, gegenpressing yang coba diterapkan Rangnick malah berubah jadi sumber "geger geden" . Maklum, bukannya membaik, performa tim ini tetap saja jeblok.
Ini terlihat dari beberapa kekalahan yang kembali muncul. Buktinya, tim sekelas Brighton saja mampu menang 4-0, sama seperti yang dilakukan Liverpool di Anfield. Everton yang sempat nyasar di zona merah saja mampu tampil dominan dan menang 1-0.
Di Liga Champions, Harry Maguire dkk juga tersingkir dini, setelah kalah agregat 1-2 dari Atletico Madrid. Catatan suram juga hadir di piala domestik, dengan mereka tersingkir di babak 32 besar Carabao Cup dan Piala FA.
Kekacauan itu semakin sempurna, ketika klub rival sekota Manchester City ini dipastikan absen di Liga Champions musim depan.
Secara matematis, nilai poin maksimal yang bisa mereka raih musim ini (61) bahkan masih lebih buruk dari rekor poin terburuk mereka di Liga Inggris era modern (64) pada musim 2013/2014. Kala itu, tim yang diasuh David Moyes finis di posisi ketujuh klasemen akhir.
Gawatnya lagi, mereka masih dituntut untuk menang atas Crystal Palace di pekan terakhir, untuk bisa mengamankan tiket lolos ke Liga Europa, sambil berharap West Ham tidak menang. Jika tidak, The Red Devils akan finis di posisi ketujuh, dan tampil di UEFA Europa Conference League, kompetisi antarklub Eropa kasta ketiga.
Meskipun sudah mendaratkan Erik Ten Hag di pos pelatih, gagal lolos ke Liga Champions tetap jadi sebuah pukulan telak. Secara finansial, gaji pemain akan dipotong sampai 25% jika klub lolos ke Liga Europa, dan bisa lebih parah lagi jika tampil di UEFA Europa Conference League.
Secara daya tarik di mata pemain bintang, posisi mereka bahkan inferior. Meski punya dana transfer melimpah, Â para pemain bintang akan sulit merapat ke Old Trafford, karena klub tidak main di Liga Champions.
Terbukti, Frenkie De Jong (Barcelona) dan Darwin Nunez (Benfica) yang jadi dua target transfer utama klub sama-sama kurang tertarik. Jadi, bisa dibayangkan seberapa pusing kepala plontos Erik Ten Hag, saat nanti mulai bertugas di kota Manchester.
Meski bisa merombak total tim, pemain bintang belum tentu mau datang. Apalagi, dengan kondisi tim yang carut marut seperti itu. Jelas, ada pekerjaan ekstra yang sudah menanti eks pelatih Ajax Amsterdam ini di Inggris.
Kembali ke acara penghargaan "Player of The Season" yang ditiadakan, sebenarnya, diantara cerita suram sepanjang musim ini, masih ada pemain yang layak diapresiasi. Seperti mutiara di dalam lumpur.
Di tim senior misalnya, ada David De Gea yang masih konsisten membuat penyelamatan krusial di bawah mistar.
Di lini serang, masih ada Cristiano Ronaldo, yang meski sudah berumur, masih mampu membuat lebih dari 20 gol.
Tanpa keduanya, mungkin Manchunian bisa saja melihat tim pujaan mereka terancam masuk zona merah Liga Inggris musim ini.
Jangan lupa, tim junior United juga mampu meraih trofi Piala FA junior. Tentu saja, ini layak diapresiasi, karena hadir di musim yang sangat menghibur bagi suporter tim lawan.
Dari tim ini juga, muncul nama Alejandro Garnacho, yang baru-baru ini dipanggil Timnas Argentina. Jadi, masih ada hal positif diantara segudang catatan negatif musim ini.
Mungkin, meniadakan penghargaan "Player of The Season" terlihat ekstrem, karena tim-tim lain tak pernah sampai begitu. Tapi, langkah ini bisa kita lihat sebagai satu bentuk introspeksi diri.
Dalam artian, setelah menjalani musim demi musim yang penuh cerita komedi, akhirnya manajemen klub mau menyadari, seberapa parah kondisi di dalam tim, dan seberapa besar kemarahan penggemar mereka.
Meski sebenarnya punya catatan sejarah masa lalu yang cemerlang dan masih bisa "dijual", nyatanya itu tidak banyak membantu, bahkan sering jadi bahan olok-olok suporter lain. Jadi, langkah ekstrem ini seharusnya bisa menjadi satu terapi kejut efektif.
Selebihnya, tinggal kita lihat, apakah MU akan memperbaiki diri setelah ini atau tidak. Jika ya, maka peniadaan penghargaan "Player of The Season" musim ini memang bertujuan serius. Kalau ternyata sama saja, berarti ini hanya sebentuk pencitraan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H