Jelas, butuh kematangan mental di sini, karena ini adalah satu permainan mental. Ternyata, aspek ini jadi satu titik lemah fatal Timnas Indonesia.
Kelemahan ini terekspos habis, saat tim dalam kondisi dituntut bergerak cepat. Sisi "nakal" para pemain Thailand justru direspon dengan kenaifan.
Alih-alih gantian bersikap "nakal", anak asuh Shin Tae-yong justru merespon dengan emosional. Kelelahan dan kondisi tertinggal menjadi pemantik sempurna. Seperti korek api yang dilempar ke bensin.
Hasilnya, terjadi tawuran antarpemain di akhir pertandingan. Diawali kartu merah dari "professional foul" Firza Andika, situasi chaos langsung meledak.Â
Thailand sendiri masih punya titik lemah di sini, karena masih meladeni dengan emosional, dan berdebat dengan wasit. Wasit pun terpaksa harus mencabut lima kartu merah: tiga untuk pemain Indonesia, dan dua untuk pemain dan pelatih Thailand.
Andai skor pertandingan ditentukan dari banyaknya jumlah kartu merah, Indonesia jelas menang 3-2. Hanya kurang satu dari batas maksimal. Kalau sampai dapat lima kartu merah, kekalahan WO otomatis 0-3 akan didapat.
Kelemahan ini jelas harus segera diperbaiki. Kalau tidak, Timnas Indonesia bisa jadi sasaran empuk, misalnya di kualifikasi Piala Asia bulan Juni mendatang.
Kebetulan, di momen itu, ada Kuwait dan Jordania, dua tim dari Timur Tengah. Seperti diketahui, tim dari regional ini dikenal hobi bermain "tricky".
Jadi, daripada meratapi kegagalan lolos ke final SEA Games Vietnam, seharusnya Timnas Indonesia perlu menyadari, seberapa gawat masalah mental yang ada.
Dari segi taktik dan teknik, tim ini memang mulai berkembang. Mulai ada permainan dengan konsep atau strategi yang jelas.
Tapi aspek mental belum benar-benar dibenahi. Andai terus dibiarkan, kemajuan secara teknik dan taktik saat ini akan sia-sia.