Bicara soal perjalanan Manchester United musim ini, gonjang-ganjing seperti jadi nama tengah mereka. Performa inkonsisten, keributan di ruang ganti, pergantian pelatih, dan berbagai kekacauan lainnya datang silih berganti.
Saking kacaunya, mereka sampai harus menunggu sampai menjelang akhir musim, untuk bisa mengumumkan pelatih baru, karena harus "menyeleksi" sejumlah kandidat pelatih.
Setelah menjalani proses pemilihan yang cukup panjang, Tim Manchester Merah akhirnya meresmikan Erik Ten Hag sebagai manajer baru mereka pada Kamis (21/4). Pelatih Ajax Amsterdam ini akan mendarat di Inggris per awal musim depan.
Sebelumnya, Ten Hag muncul sebagai kandidat kuat bersama Mauricio Pochettino, yang sama-sama sempat diwawancarai manajemen klub, sebelum akhirnya ditunjuk. Belakangan, United diketahui hanya perlu membayar ongkos kompensasi sebesar 2 juta euro ke klub raksasa Belanda.
Pelatih berkepala plontos ini dipandang sebagai satu solusi ideal, karena punya catatan prestasi mentereng di Johan Cruyff Arena: menjadi juara Liga Eredivisie Belanda dan lolos ke semifinal Liga Champions.
Dari segi taktik, eks pelatih FC Utrecht ini juga terlihat klop dengan tren taktik kekinian, karena memadukan sepak bola menyerang dengan pressing ketat dan penguasaan bola, dalam pola andalan 4-3-3.
Ini jelas bukan kejutan, karena pelatih berusia 52 tahun itu dikenal sebagai pengagum Johan Cruyff, Si Master Total Football. Ditambah lagi, ia pernah menjadi staf pelatih Pep Guardiola, yang notabene merupakan murid Cruyff, saat pelatih asal Spanyol itu menangani Bayern Munich.
Pelatih dengan catatan prestasi mentereng, gaya main menyerang, dan mantan "anak didik" seorang pelatih jenius. Terlihat meyakinkan.
Tapi apakah cukup sampai disitu? Ternyata belum.
Selain gaya main, catatan prestasi dan latar belakangnya, pelatih asal Belanda ini dikenal mampu mengorbitkan pemain muda. Di Ajax, nama-nama seperti Matthijs De Ligt, Frenkie De Jong, dan Donny Van De Beek sukses diorbitkannya.
Tentu saja, ada harapan besar dari Manchunian, supaya cerita serupa bisa terulang di Old Trafford. Apalagi, sudah ada Donny Van De Beek, pemain yang dulu diorbitkannya, di sana.
Prospek eks pelatih tim junior Bayern Munich ini juga terlihat semakin menjanjikan, karena dirinya diberi kekuasaan penuh untuk berbelanja pemain, dan memboyong staf pelatih pilihannya. Soal transfer, manajemen Setan Merah memastikan, akan ada belanja besar-besaran, untuk membangun ulang tim.
Salah satu nama yang sudah pasti diboyong adalah Mitchell Van Der Gaag, asisten pelatih Ajax Amsterdam. Seperti halnya Ten Hag, ia juga dikenal sebagai sosok yang serba detail.
Dalam hal evaluasi pemain, eks pelatih Jong Ajax ini bahkan dikenal sebagai "tukang interogasi", karena gemar melakukan evaluasi detail secara personal. Hal ini tentu saja akan cocok dengan situasi semrawut di ruang ganti MU, yang memang butuh tipe kontrol seperti ini.
Semua itu memang terlihat menjanjikan, tapi, melihat rekam jejak The Red Devils belakangan ini, tetap saja terselip satu keraguan. Maklum, mereka pernah gagal saat dilatih Louis Van Gaal (2014-2016), dengan situasi kurang lebih mirip dengan Ten Hag saat ini.
Seperti diketahui, Van Gaal (yang juga asal Belanda) datang ke Teater Impian, juga di saat tim sedang terpuruk.Â
Optimisme juga mencuat, karena Si Tulip Besi datang setelah membawa Timnas Belanda meraih medali perunggu di Piala Dunia 2014, dan sederet prestasi di masa lalu, seperti juara Liga Champions bersama Ajax Amsterdam.
Dengan seabrek pengalaman, prestasi dan reputasi dalam mengorbitkan pemain muda, manajemen klub juga tak ragu menggelontorkan dana besar untuk transfer pemain, dengan Angel Di Maria dan Memphis Depay sebagai dua dari beberapa nama yang diboyong saat itu.
Tapi, pendeknya sumbu kesabaran manajemen klub dan suporter, ditambah ruwetnya situasi internal klub, membuat periode singkat mentor Jose Mourinho itu berakhir muram. Transfernya banyak yang flop, sementara tim kerap tampil inkonsisten.
Pada akhirnya, Van Gaal tetap dipecat, meski meraih trofi Piala FA, dan mengorbitkan pemain muda macam Marcus Rashford.
Kemiripan situasi inilah, yang perlu diwaspadai. Ditambah lagi, media Inggris juga kerap menjadi "kompor meleduk" yang jago dalam memanaskan situasi, atau minimal membuat pemberitaan bombastis.
Tentunya, ini akan jadi pengalaman baru, sekaligus titik rawan eks pelatih Go Ahead Eagles, yang selama ini lebih banyak melatih tim senior di Liga Belanda, negara yang medianya relatif lebih "kalem" ketimbang Inggris.
Dengan durasi kontrak selama tiga tahun plus opsi perpanjangan kontrak selama setahun buat Ten Hag, ini bisa dipahami sebagai satu manuver "jaga-jaga" manajemen klub, andai situasi seperti Van Gaal, Jose Mourinho, dan Ole Gunnar Solskjaer kembali terjadi.
Di sisi lain, tersirat juga indikasi bahwa Ten Hag hanya punya waktu maksimal dua tahun, untuk melakukan "trial and error" di Manchester, dengan musim ketiga sebagai "musim penghakiman".
Dengan sebagian suporter dan petinggi klub yang masih terjangkit "post power syndrome" pasca era Sir Alex Ferguson, tekanan seperti ini jelas akan terus ada, pada siapapun pelatih baru United. Inilah ujian umum buat mereka, di kursi panas pelatih.
Jika sukses lulus ujian, maka perpanjangan kontrak jangka panjang seharusnya sudah siap menanti. Tapi, kalau ternyata tetap flop seperti sebelumnya, bisa dipastikan Ten Hag akan jadi "Louis Van Gaal jilid dua" di Manchester, alih-alih "Erik Ten Hag jilid satu".
Akankah sejarah (kembali) terulang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H