Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sisi Membingungkan Label Alumni

4 April 2022   15:25 Diperbarui: 4 April 2022   15:27 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mendengar kata alumni di era kekinian, mungkin kesannya agak membingungkan, karena bisa merambah kemana-mana. Saking membingungkannya, aksi demo pun bisa menghasilkan alumni.

Padahal, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, alumni didefinisikan sebagai "orang-orang yang telah mengikuti atau tamat dari suatu sekolah atau perguruan tinggi". Alumni sendiri merupakan bentuk jamak. Bentuk tunggalnya adalah alumnus.

Berangkat dari definisi inilah, saya bisa sedikit membatasi topik bahasan di tulisan ini. Dengan demikian, ada batasan yang jelas dan (seharusnya) bisa dimengerti.

Dalam dunia pendidikan, alumni menjadi satu bagian tak terpisahkan. Meski sudah beda tempat, ada ikatan emosional yang kadang masih ada.

Apalagi, kalau ada teman atau bahkan pasangan hidup, yang kebetulan pertama kali bertemu di sana. Ditambah lagi, kalau ada memori berkesan lain, misalnya saat mencetak prestasi belajar.

Tapi, ada satu sisi membingungkan dari label "alumni" ini, karena cakupan definisinya yang cukup luas, pada prakteknya.

Karena ada terminologi "telah mengikuti atau tamat", di sini, mereka yang tidak lulus (entah dikeluarkan, atau alasan lainnya) ikut masuk hitungan, bersama mereka yang lulus, sekalipun punya rekam jejak bermasalah di masa lalu.

Orang-orang ini juga akan mendapat perlakuan istimewa, jika misalnya muncul sebagai orang (yang setidaknya terlihat) sukses atau memang berasal dari kalangan berpunya. Mirip seperti pemeo "from zero to hero".

Tentu saja, ini agak aneh, karena pada masa lalu, mereka kadang dianggap "bermasalah" karena tidak selesai studi, terlalu sulit diatur, dan sebagainya. Ada kesan seperti "menjilat ludah sendiri", yang juga sudah cukup membudaya.

Benar-benar ironis.

Sisi ironis ini semakin lengkap, karena dilakukan oleh lembaga pendidikan yang seharusnya menekankan pentingnya integritas dan konsistensi, bukan standar ganda.

Lebih mengerikannya lagi, perlakuan jomplang juga didapat, pada alumni yang harus memulai dari bawah. Bukan lagi nol, tapi sudah sampai minus.

Pada situasi sulit ini, almamater yang biasanya begitu membanggakan nama besar, kadang seperti amnesia. Pada titik ekstrem, alumni yang "belum jadi apa-apa" ini kadang dianggap sebagai "beban", karena tak lagi bisa memberi manfaat.

Sudah lulus, sudah bebas SPP, selesai urusan. Makanya, ketika mereka sudah sukses dan dihubungi sebagai " alumni", ada sedikit rasa jengkel yang tersisa. Karena, mereka muncul dengan tenangnya, seolah sudah melakukan segalanya.

Dimana mereka pada saat-saat paling sulit? Apakah mereka masih membantu pada saat sudah jadi alumni?

Jadi, bukan kejutan kalau ada alumni yang memilih "minggir" dari hal-hal yang berhubungan dengan sekolah atau kampus mereka dulu.

Itu belum termasuk mereka yang menjalani masa sulit selama studi, entah karena di-bully atau pengalaman traumatis lainnya.

Hal-hal negatif seperti ini tidak akan mudah terhapus dari ingatan, karena otak manusia bukan flashdisk atau hard disk yang bisa diformat ulang hanya dengan sekali klik.

Memang, tidak semua bersikap seperti itu, karena ada juga lembaga pendidikan yang menganggap alumninya sebagai "aset" dan "representasi berjalan", disamping tentu saja sebagai seorang manusia.

Makanya, ada sekolah atau kampus yang benar-benar bisa membangun hubungan baik dengan alumni, dan hadir di berbagai situasi, senang maupun sulit.

Inilah yang membuat hubungan yang ada cenderung awet, karena alumni benar-benar dimanusiakan, bukan hanya dipandang sebagai mesin ATM, pengumpul trofi, atau sapi perah.

Alhasil, label "alumni" pun bisa terucap dengan rasa bangga. Kalau ada acara temu alumni, sebisa mungkin pasti akan menyempatkan datang sebentar.

Tapi, masih adanya institusi yang menerapkan mentalitas "standar ganda" dan terlalu mengutamakan "asas manfaat", kadang membuat label "alumni" jadi terasa agak memalukan.

Jadi, bukan mengejutkan kalau ada alumni yang sebisa mungkin akan absen di acara temu alumni. Tentu saja, ini bukan sebuah kesalahan, karena mereka hanya mengikuti contoh yang sudah lebih dulu ada.

Sekolah atau kampus yang dulu terbiasa memperlakukan alumni seperti mesin ATM, kolektor trofi, atau sapi perah, tidak seharusnya berhak merasa tersakiti. Ini justru menunjukkan, apa yang mereka contohkan bisa diterapkan dengan baik.

Jika sekolah atau kampus benar-benar mendidik alumninya sebagai manusia, dia akan menjadi manusia yang selalu ingat untuk memanusiakan sesamanya.

Pada akhirnya, sisi membingungkan pada label "alumni" ini menunjukkan, cara pandang dan pendekatan macam apa yang ada di sana. Baik dalam institusi atau manusianya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun