Secara taktis, El Maestro lebih banyak menekankan lini tengahnya untuk mau bertarung memperebutkan bola, ketimbang ikut berkreasi. Alhasil, lini tengah tim terlihat kaku, kurang dinamis.
Padahal, di lini tengah Uruguay, ada gelandang-gelandang kreatif macam Federico Valverde (Real Madrid), Rodrigo Bentancur (Juventus) dan paling gres Facundo Pellistri (Manchester United).
Akibatnya, ketergantungan ini justru kerap jadi bumerang. Andai duo lini depan Uruguay dimatikan atau salah satunya absen, habislah sudah.
Masalah ini rupanya tak bisa ditangani Tabarez. Apa boleh buat, tak lama setelah dibekuk Bolivia di La Paz, AUF (PSSI-nya Uruguay) lalu memutuskan berpisah dengan sang pelatih senior, setelah 15 tahun bersama.
Keputusan ini sebenarnya sulit dan tidak populer, karena pelatih berusia 74 tahun itu adalah otak di balik kebangkitan Timnas Uruguay selepas gagal lolos ke Piala Dunia 2006.
Tapi, AUF agaknya menyadari, Uruguay butuh pembaruan segera. Jika tidak, mereka bisa gagal tampil di Piala Dunia. Sebagai gantinya, Diego Alonso datang sebagai pelatih baru.
Mantan pemain Timnas Uruguay ini ditunjuk, setelah menjalani periode yang cukup sukses di Meksiko bersama Pachuca dan Monterrey (2014-2019). Bersama dua klub ini juga, trofi Liga Champions Concacaf sukses diraihnya.
Di luar rekam jejaknya, sisi taktikal pelatih berusia 46 tahun ini juga jadi pertimbangan, karena selain adaptif seperti Tabarez, ia juga bisa memanfaatkan kreativitas lini tengah.
Hasilnya, secara menakjubkan, Uruguay mampu menyapu bersih empat pertandingan sisa. Diawali dengan kemenangan 1-0 di kandang Paraguay, dan dilanjutkan dengan kemenangan 4-1 atas Venezuela dan 1-0 atas Peru, tiket lolos otomatis ke Qatar pun didapat.
Bukan cuma itu, Chile juga mampu ditekuk dengan skor 2-0 di Santiago. Hasil ini sekaligus memaksa Chile kembali absen di Piala Dunia.