Di era media sosial seperti sekarang, "flexing" menjadi satu hal yang umum terlihat. Bentuknya pun beragam.
Ada yang menunjukkan prestasi, ada yang unjuk kemesraan, ada yang memang karena urusan promosi atau pekerjaan, ada juga yang cuma pamer.
Semua tujuan itu sah-sah saja, karena setiap orang pasti punya pertimbangan sendiri. Masalahnya, semakin ke sini, "flexing" makin menyasar ke hal-hal yang seharusnya privat.
Pada kasus pamer kekayaan, sebagian pelaku flexing bahkan sampai berani menyebut nominal penghasilan dan harga barang mewah miliknya.
Padahal, hal-hal seperti ini seharusnya tak boleh diumbar sembarangan. Selain karena privat, ini berkaitan dengan keamanan dan kenyamanan.
Semakin banyak yang tahu, semakin rawan juga posisinya. Maling bisa mencuri saat ada kesempatan, sementara Ditjen Pajak siap mencolek dan menagih kapan saja, terutama jika potensi penerimaan pajaknya besar.
Bukan cuma itu, orang-orang terdekat pun bisa berpikiran aneh-aneh. Ada yang menawarkan investasi bodong, ada yang bergosip soal darimana kekayaan itu didapat.
Bahkan, ada juga yang bisa dengan enaknya memberi cap pelit, sekalipun permintaannya memang pantas ditolak, misalnya karena tidak masuk akal.
Apa boleh buat, "flexing" yang tadinya jadi senjata untuk membanggakan diri, justru berubah jadi senjata makan tuan. Sudah kena pajak besar, privasi hilang, pengeluaran membengkak pula. Belum lagi kalau misalnya ketiban sial, entah kecurian atau kebanjiran. Amsyong.
Hal yang mirip juga bisa berlaku untuk mereka yang terbiasa "flexing" soal anak. Atas nama kebahagiaan dan rasa syukur, anak bisa jadi alat "flexing" yang efektif.
Kalau si anak memang jadi bintang iklan alias "endorser" produk tertentu, atau mencatat prestasi di suatu lomba tertentu, tindakan "flexing" ini masih bisa dimengerti. Selain karena berkaitan dengan urusan profesional dan institusi lain, ada manfaat yang bisa didapat, misalnya dibayar karena menjadi bintang iklan, atau memotivasi orang lain untuk lebih bersemangat.
Tapi, kalau si anak jadi alat pamer, ini jelas absurd. Secara budaya, "pamer" anak memang jadi satu hal biasa di era media sosial.
Selama sekuel pertanyaan "kapan" masih ada di Indonesia, selama itu juga anak jadi alat pamer, karena dalam budaya seperti ini anak-anak adalah sebentuk trofi berjalan.
Hal serupa juga berlaku pada pasangan. Saat masih bersama, pasangan seperti lebih mahal dari satu truk minyak goreng. Ironisnya, kebanggaan ini bisa berubah total menjadi sebuah aib, andai hubungannya berakhir kurang mengenakkan.
Makanya, kita belakangan sering melihat, postingan tentang tumbuh kembang anak bertebaran di media sosial. Mulai dari foto USG sampai momen saat si anak sedang belepotan atau merajuk pun ada.
Jika frekuensinya normal, dalam artian hanya fokus pada momen penting, ini akan jadi kabar baik yang diingat positif oleh banyak orang. Apalagi, kalau ada hal-hal informatif seperti karakteristik bayi pada usia tertentu.
Ini bisa bermanfaat buat mereka yang akan atau baru saja punya anak. Jadi, ada gambaran situasi yang bisa dipersiapkan di tahapan usia tertentu. Meskipun, setiap anak sebenarnya punya cerita tersendiri.
Masalahnya, jika frekuensi "flexing" nya berlebihan, tentu ini kurang baik. Bagi mereka yang masih jomblo atau sedang menjadi pejuang garis dua, ini bisa mendatangkan rasa "insecure", yang jika dibiarkan saja akan memicu stres. Seperti api dalam sekam.
Jika pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab ikut terlibat, anak yang jadi alat pamer ini bisa saja jadi target tindak kriminal, begitu juga dengan orangtuanya. Mengerikan.
Bagi si anak sendiri, kebiasaan "flexing" orangtuanya bisa membawa pengaruh buruk dalam jangka panjang. Selain karena mengganggu kenyamanan sang anak, ini bisa jadi kebiasaan buruk buat si anak.
Dia jadi tidak peka pada privasinya sendiri, apalagi orang lain, dan tidak waspada. Yang penting bisa pamer, lainnya diurus belakangan. Akibatnya, sedikit-sedikit pamer, lama-lama jadi toksik.
Bagian paling apes adalah, jika suatu saat orangtua si anak tersangkut perkara negatif, misalnya menjadi pelaku kasus penipuan. Orang-orang akan ikut menjadikannya sasaran tembak, sekalipun anak ini sebenarnya tidak bersalah.
Kasus ini mirip seperti karakter Suneo di manga Doraemon, yang sering pamer mainan baru atau bercerita tentang perjalanan wisatanya. Gaya bercerita tengil dan sifat narsisnya selalu sukses membuat teman-temannya iri.
Tapi, tingkah laku bocah tajir bermulut mancung ini sering jadi bumerang. Kadang, mainannya rusak atau dirampas Giant, teman bengalnya yang hobi baku hantam. Bagian paling ekstrem, ada saatnya dia dikucilkan karena terlalu suka pamer dan narsis
Begitu juga saat si anak jadi sosok bermasalah akibat salah asuhan. Anak yang dulunya dipamerkan seperti barang antik kini disembunyikan sebisa mungkin, seperti barang ilegal.
Dampak-dampak ini jelas mengerikan sekaligus mengenaskan. Mengerikan karena bisa merusak banyak hal sekaligus, dan mengenaskan karena ini semua muncul, hanya karena kurang bisa menjaga sikap.
Disadari atau tidak, "flexing" yang berlebihan justru menunjukkan seberapa parah ketidaksiapan mental seseorang, dalam menjaga "titipan" yang ada padanya.
Sebagai contoh, mereka yang benar-benar siap untuk kaya, tidak akan mudah bertindak sembrono, karena sudah memperhitungkan segala sesuatu dengan cermat. Mereka memilih "tidak terlihat" dari luar, tapi bisa membantu saat dibutuhkan. Bukan sebaliknya.
Mereka yang punya anak karena memang "siap" pasti akan menjaga betul kenyamanan sang anak, yang memang merupakan sebuah tanggung jawab. Ini jelas berbeda dengan mereka yang punya anak hanya karena dikejar-kejar oleh pertanyaan "kapan" dari orang lain.
Tidak semua harus dipamerkan, karena satu hal yang suatu saat jadi hal kebanggaan, bisa menjadi sumber masalah di lain waktu, jika tidak dijaga dengan baik.
Seharusnya, kita bisa menjaga privasi diri, sama seperti menjaga bagian privat tubuh kita, seperti yang sudah rutin dilakukan setiap hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H