Hal yang mirip juga bisa berlaku untuk mereka yang terbiasa "flexing" soal anak. Atas nama kebahagiaan dan rasa syukur, anak bisa jadi alat "flexing" yang efektif.
Kalau si anak memang jadi bintang iklan alias "endorser" produk tertentu, atau mencatat prestasi di suatu lomba tertentu, tindakan "flexing" ini masih bisa dimengerti. Selain karena berkaitan dengan urusan profesional dan institusi lain, ada manfaat yang bisa didapat, misalnya dibayar karena menjadi bintang iklan, atau memotivasi orang lain untuk lebih bersemangat.
Tapi, kalau si anak jadi alat pamer, ini jelas absurd. Secara budaya, "pamer" anak memang jadi satu hal biasa di era media sosial.
Selama sekuel pertanyaan "kapan" masih ada di Indonesia, selama itu juga anak jadi alat pamer, karena dalam budaya seperti ini anak-anak adalah sebentuk trofi berjalan.
Hal serupa juga berlaku pada pasangan. Saat masih bersama, pasangan seperti lebih mahal dari satu truk minyak goreng. Ironisnya, kebanggaan ini bisa berubah total menjadi sebuah aib, andai hubungannya berakhir kurang mengenakkan.
Makanya, kita belakangan sering melihat, postingan tentang tumbuh kembang anak bertebaran di media sosial. Mulai dari foto USG sampai momen saat si anak sedang belepotan atau merajuk pun ada.
Jika frekuensinya normal, dalam artian hanya fokus pada momen penting, ini akan jadi kabar baik yang diingat positif oleh banyak orang. Apalagi, kalau ada hal-hal informatif seperti karakteristik bayi pada usia tertentu.
Ini bisa bermanfaat buat mereka yang akan atau baru saja punya anak. Jadi, ada gambaran situasi yang bisa dipersiapkan di tahapan usia tertentu. Meskipun, setiap anak sebenarnya punya cerita tersendiri.
Masalahnya, jika frekuensi "flexing" nya berlebihan, tentu ini kurang baik. Bagi mereka yang masih jomblo atau sedang menjadi pejuang garis dua, ini bisa mendatangkan rasa "insecure", yang jika dibiarkan saja akan memicu stres. Seperti api dalam sekam.
Jika pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab ikut terlibat, anak yang jadi alat pamer ini bisa saja jadi target tindak kriminal, begitu juga dengan orangtuanya. Mengerikan.
Bagi si anak sendiri, kebiasaan "flexing" orangtuanya bisa membawa pengaruh buruk dalam jangka panjang. Selain karena mengganggu kenyamanan sang anak, ini bisa jadi kebiasaan buruk buat si anak.