Masalah yang paling kelihatan adalah kultur kerja yang kacau balau, dan aturan ketenagakerjaan yang terlihat hanya menjadi aksesoris pelengkap.
Aturannya ada, tapi tidak banyak berguna. Kurang lebih sama seperti divisi sumber daya manusia, yang seharusnya bisa menjadi tempat curhat pekerja, alih-alih media sosial.
Mirisnya, dari sana kita bisa melihat, seberapa parah kekacauan yang ada. Bentuknya pun bermacam-macam, dan kadang cukup mengerikan.
Ada yang harus bekerja tiap hari, bahkan sampai dinihari, tanpa upah lembur sesuai peraturan, misalnya dengan alasan "WFH". Ada yang dipaksa tetap bekerja, walau sebenarnya sedang terbaring lemah di rumah sakit, atau sedang berduka cita.
Ada yang upahnya dikurangi, misalnya karena alasan "imbas pandemi", tapi beban kerjanya ditambah berlipat-lipat. Ironisnya, pada saat bersamaan, sang bos malah tetap bisa piknik dan flexing di media sosial sesuka hati.
Ada juga perusahaan yang lebih memilih mempekerjakan pegawai magang atau paruh waktu, alih-alih karyawan tetap, dengan beban kerja persis seperti karyawan tetap atau purnawaktu, dengan alasan masih berbentuk "usaha rintisan". Padahal, omsetnya sudah mencapai angka miliaran bahkan triliunan rupiah.
Memang, di satu sisi, perusahaan butuh profit sebanyak-banyaknya. Negara juga butuh tempat menyerap tenaga kerja sebanyak-banyaknya, demi memajukan ekonomi dan menarik investasi masuk.
Tapi, bukan berarti perusahaan bisa seenaknya menerapkan pola kerja kelewat batas. Pekerja juga manusia, dan ini sudah era digital. Ini bukan lagi Indonesia di era VOC atau kolonial Belanda, yang memang kental dengan nuansa perbudakan dan kerja rodi.
Di sisi lain, alih-alih memusuhi, perusahaan perlu menjadikan akun-akun medsos tempat curhat pekerja ini sebagai alat koreksi. Jika divisi sumber daya manusia tidak berfungsi dengan baik, masukan yang ada bisa jadi sarana perbaikan.
Pendekatan serupa juga perlu dilakukan oleh pemerintah. Dengan melibatkan akun-akun tempat curhat pekerja sebagai alat kontrol, seharusnya implementasi aturan ketenagakerjaan bisa dimonitor. Jika ada kekurangan bisa dikoreksi, seperti halnya penindakan pada pelanggaran.
Dengan bergesernya generasi pekerja, perusahaan dan pihak-pihak terkait perlu ikut beradaptasi, dengan pola pikir dan gaya hidup yang ada. Bukan lagi terlalu hirarkis atau feodal seperti dulu, tapi mau memposisikan diri sebagai teman. Jika tidak, siap-siap lenyap ditelan kemajuan zaman.