Dengan kondisi seperti ini, sulit buat federasi-federasi di sana, untuk membangun tim nasional berkualitas. Jangankan membangun tim, menemukan pemain saja sulit.
Ketimpangan ini antara lain terlihat dari kiprah Timnas Tahiti di Piala Konfederasi 2013. Datang ke Brasil sebagai juara Piala OFC 2012, The Iron Warriors hanya diperkuat satu pemain profesional, yakni Marama Vahirua.
Penyerang yang kala itu berusia 33 tahun memang bermain di AS Nancy Lorraine (Prancis). Tapi, dia bukan pemain utama di sana. Alhasil, tim asuhan Eddy Etaeta jadi bulan-bulanan lawan di fase grup. Mereka kalah 1-6 dari Nigeria, 0-10 dari Spanyol, dan 0-8 dari Uruguay.
Dari sini saja, sudah terlihat seberapa jauh ketertinggalan mereka dibanding konfederasi lain. Tapi, sedikit harapan muncul, seiring dipastikannya jatah satu tiket otomatis di Piala Dunia 2026, yang akan melibatkan 48 negara peserta.
Mungkin, ini terlihat sederhana, tapi sebuah pengalaman bertanding di kompetisi besar bisa (minimal sedikit) membantu sebuah tim untuk berkembang.
Di sisi lain, apa yang terjadi di zona Oseania ini menunjukkan, pentingnya keberadaan kompetisi profesional dalam memajukan kualitas persepakbolaan di suatu negara atau regional.
Semakin bagus tata kelolanya, (seharusnya) semakin baik kualitas pemain yang dihasilkan. Andai tak memungkinkan, perlu ada keberanian untuk memanfaatkan kesempatan bermain di liga dengan kualitas kompetisi lebih baik, supaya dapat semakin berkembang
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI